3. First Sight

307 25 1
                                    




Namjoon berjalan cepat kembali menuju apartemennya.

Tas selempang berisi laptop itu dipeluk di dadanya seiring butiran air hujan yang membesar.

Langkahnya berpindah ke sisi pertokoan, mencari perlindungan dari beberapa kanopi yang menjulur di depan jendela-jendela etalase besar.

"Damn it!"
Tas kanvas khaki itu terlepas dan jatuh setelah seorang pria besar yang terus berlari dengan payung hitam menyenggol bahunya.

Tali selempang yang sudah tak bisa lagi menopang beban volume itu akhirnya menyerah.

Membungkuk cepat untuk menyelamatkan benda berharganya, ingatan Namjoon kembali pada sebuah payung berwarna feminin dengan sosok manis yang teramat tenang walapun benda berharganya terjatuh, sama seperti yang ia alami beberapa detik lalu.

Sesaat ia tertegun. "Apakah ia baik-baik saja?"

Sedikit tersentak oleh suara klakson bus, Namjoon kembali menepi untuk memeriksa keadaan laptopnya.

"Kenapa aku jadi memikirkannya..."
Batinnya mengutuk sisi lembut pikirannya.

Menggeleng kepala untuk menghilangkan bayangan sang pria bersurai coklat dengan sweater biru mudanya yang kebesaran.

Seperti yang ia saksikan detik ini ketika tatapannya beralih ke seberang jalan saat suara bus itu mendekat.



Seokjin tersenyum lebar setelah menekan tombol di sisi ponselnya. Layar benda kotak itupun berubah menjadi gelap sebelum masuk ke dalam tas.

Ditegakkannya payung kesayangannya itu agar ia bisa melihat bus yang telah datang.

Dan seorang pria berjaket hitam dengan mata dan bibir membulat di dalam tudung kepalanya yang basah.


"Apakah aku mengenalnya?"
Seokjin memiringkan kepala menatap sang pria yang dengan cepat melangkah ke sisi trotoar, kembali membasahi tubuh dan tas yang masih dipeluknya dengan tali berjuntai hingga mata kaki.

"Mungkin ia kira aku orang lain..."
Ia mengangguk kecil memberi salam sambil tersenyum sebelum kaki berbalut denim hitam itu melangkah menaiki tangga bus yang perlahan menutup jarak pandang kedua mata mereka.


"That's Him!" Mata membulatnya terus mengikuti kendaraan besar di seberangnya yang melaju pelan.

Telapak tangan yang sedetik tadi ia lambaikan terjatuh ke sisi tubuhnya.

Bus itu telah pergi bersama dengan pria yang baru saja mengisi pikirannya.

Dan kutukan terhadap tas berisi laptop basahnya pun kembali terlontar.





"Aku akan interview besok lusa Jiminie..."

Tawa riang terdengar di ujung sambungan membalas ucapan Seokjin yang duduk menyandar di bangku busnya.

"Semoga lancar Jinnie..."
"Sudah saatnya kau menetap di satu tempat"

"Kau benar Jiminie...aku lelah berpindah-pindah kota terus" Ia terkekeh pelan.

Menjadi fotografer lepas telah ia jalani selama hampir empat tahun. Berawal dari sekedar hobi mengabadikan keindahan alam dengan kamera ponselnya, hingga sekarang sebagian kecil karyanya terpajang dalam galeri juga majalah di beberapa kota.

"O ya...bagaimana kameramu?"

"Ah!" Pekikan keras itu membuat penumpang yang duduk di sebelahnya menoleh kaget.

"Aku ingat sekarang Jiminie"
"Dia orang yang menjatuhkan tas kameraku"

"Ha? Siapa?" Suara di ujung telepon terdengar bingung.

"Seorang pria melambaikan tangannya sebelum aku naik bus ini tadi"
"Dia orang yang memakiku waktu itu"

Jimin tertawa di seberang sana.
"Kenapa kau tidak langsung minta ganti, Jin..."

"Karena kameraku baik-baik saja...."
"Dan aku benar-benar lupa dengan kejadian itu"

"Tapi pria itu mengingatku Jiminie....."

"Dia orang baik bukan?"

"Hhhh....kau ini terlalu baik" Tawa kecil kembali terdengar.

"Tapi.....mungkin kau benar"
"Ini sudah seminggu sejak kejadian itu dan ia mengenalimu"

"Mungkin ia tidak sekasar yang kita bayangkan"


"Ah sudahlah....mungkin kita juga tidak akan bertemu lagi"

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang