40. Regrets

118 16 0
                                    




Seokjin menghela napas panjang dan kembali menopang kepala di atas lengan yang memeluk lutut terlipatnya.

Berjam-jam ia duduk di depan unit apartemen Namjoon. Tertidur dan terbangun saat suara langkah terdengar.

Menoleh senang kemudian mendengus kecewa saat suara langkah itu bukanlah yang ia tunggu.

Hingga malam pun tiba, kepalanya terantuk pelan saat kedua lengannya melorot dari lututnya.

"Eung...." Ia mengerang pelan dan mengucek mata.

Sepasang mata tengah menatapnya iba.

Pemandangan itu meluruhkan semua emosi yang ia rasakan sepanjang hari ini.

Namjoon menggelengkan kepala singkat dan berusaha tersenyum.


"Namjoon?"

Seokjin mengerjap beberapa kali sebelum tubuh lemasnya berdiri dan memeluk erat sang kekasih.

"Namjoon......"

"Namjoonieee......" Isak tangisnya pecah.


"Tuhan....betapa aku merindukan panggilan manjanya"

"Betapa aku merindukan tubuh ramping beraroma lembut ini berada dalam dekapanku" Namjoon memejamkan mata.

"Jangan menangis...." Ia berbisik di ceruk lehernya.
Memeluknya lebih erat sebelum tangannya terulur untuk membuka pintu dan membawanya masuk.





"Aku bawa banyak oleh-oleh..."

Namjoon berlutut di atas karpet lantainya, membuka dan mengeluarkan isi kopernya setelah Seokjin berhenti menangis dan duduk di sofa dengan secarik tissue yang masih tergenggam.

"Kuharap kau suka..." Namjoon meletakkan camilan juga kerajinan tangan yang dibelinya.


"Kau.....sempat-sempatnya membeli semua ini?" Seokjin tersenyum lemah.


"Karena aku tidak bersamamu disana..."

"Kupikir.....aku harus berbagi"

Namjoon berucap datar tanpa menatap mata sang pria yang tengah mengagumi kerajinan tangan berbentuk ikan paus itu di tangannya.

"Namjoonie....."

Diletakkannya benda kaca itu di atas meja kemudian ia berpindah ke sebelah sang pria, berlutut dan menarik tangan yang masih sibuk menata oleh-olehnya.

"Lihat aku...."

Kedua telapak tangannya menangkup pipi sang pria yang hanya menarik napas dengan kedua mata terpejam singkat.

Namjoon berusaha tersenyum dan tertunduk. Tak sanggup menatap mata memelas di hadapannya.

"Namjoonie.....maaf aku jarang berkabar waktu kau pergi"

"Kau sakit....aku mengerti" Namjoon dengan cepat memotong kalimatnya.

Seokjin menggeleng. "Aku...."

"Seokjin" Keempat bola mata itu akhirnya bertemu.

"Kubilang aku mengerti..."
Namjoon kembali berusaha keras untuk tersenyum.

Walau hatinya sakit ketika nama itu terus muncul di ingatannya.

Juga benda itu, kotak putih yang memancing kecurigaanya.


"Aku kangen...." Seokjin menunduk, memilin-milin ujung kaos sang pria.

"Lalu kenapa kau memanggil namanya?" Namjoon mengatupkan bibirnya erat.

"Aku juga, Seokjin....aku juga"


"Boleh peluk?" Seokjin melirik ragu dengan bibir mengerucut.

Namjoon menghela napas panjang.

Runtuhlah pertahanannya seketika mendengar cicit kecil sang pria.

Hela napas kembali ia hembuskan bersama dengan kekehan kecil.

Pria itu merunduk memeluk pinggannya erat, menempelkan pipinya pada dada bidang Namjoon yang akhirnya luluh.

Ia mengecupi pucuk kepala dan keningnya lembut.

"Kau pasti belum makan seharian" Namjoon melonggarkan pelukannya, menggenggam kedua jemari lentik itu lalu mengecupnya.


Seokjin menggeleng masih dengan bibir mengerucutnya.

"Aku kembali lagi kemari setelah melihat gelas minumanmu di kantor"

"Kupikir kau butuh waktu untuk sendiri dulu..."

Namjoon sedikit tersentak oleh perkataan tanpa emosi itu.

"Apa kau sudah tenang?" Ia memiringkan kepala dengan mata bulatnya.

"Seokjin....maaf..."

"Aku belum bisa membahas ini sekarang"

"Walaupun Jackson berkali-kali menasehatiku....aku takut akan menyakitimu" Namjoon tersenyum lemah menatap kedua mata sembab pria kesayangannya.

"Namjoonie....."


"Kita coba cokelat jeruknya mau?" Namjoon memotong ucapan Seokjin dan mengambil sekotak camilan itu lalu membukanya.

"Aaaah...." Ia menyodorkan sepotong kecil ke depan bibir sang pria.

Seokjin tersenyum lebar, kedua matanya membulat saat cokelat itu meleleh dalam mulutnya.

Ia kembali tersenyum, pipi bayinya merona.

Namjoon menggeleng pelan dan ikut tersenyum.

Wajah polos dengan mata sembab dan ujung hidung kemerahan itu membuatnya luluh.

"Aku......"

"Kecewa saat kau menutup telepon itu tiba-tiba...." Ia tertunduk masih dengan sepotong cokelat diantara ibu jari dan telunjuknya.

"Aku ingin cepat pulang......ingin tahu keadaanmu"

"Aku khawatir kau sakit..."

"Oleh-oleh ini kubeli dengan tergesa-gesa hingga tak sempat mengabarimu"

"Sampai-sampai Jackson harus menarikku" Ia terkekeh pelan.

"Aku langsung ke rumahmu tadi malam"

"Dan kau memanggil namanya......lagi...."

Bahu Seokjin melemas. "Jadi benar malam itu Namjoon datang ke kamarku"


"Namjoon maaf....."


"Kau merindukannya, bukan aku...."

"Tidak....tidak Namjoonie....kumohon jangan katakan itu" Seokjin menangkup pipinya.

"Ini pertama kalinya aku jauh darimu...."

"Mungkin aku memimpikannya dan tak sengaja menyebutnya dalam tidurku"



"Seokjin......jangan berbohong lagi ya..." Namjoon menatap wajahnya lekat.



DEG


"Maaf.....maafkan aku Namjoonie...." Seokjin mengecup lembut bibirnya kemudian memeluknya erat.

Takut dan rasa bersalah menjalar di seluruh tubuhnya.

Seokjin tidak ingin menceritakan apa yang telah terjadi saat Namjoon pergi.

Tidak ingin Namjoon membencinya.

Tak ingin Namjoon meninggalkannya.


Dan penyesalan itu terus bersarang dalam hatinya.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang