Sore itu tepat setelah pulang pertemuan ibu-ibu PKK, Wanti mengajak Angelika Mentari ke suatu tempat. Sebut saja, rumah Maman dan Umi orang tuanya—Mas Rayyano Adi. Waktu itu, Angel belum tahu siapa Rayyan. Tujuannya, Wanti hanya ingin meminjamkan buku pelajaran untuk Angel yang baru saja naik ke kelas dua SD, maklum mereka seumuran. Namun, Angel sekolahnya telat karena keadaan keluarga yang tidak baik.
Angel hanya duduk di kursi bawah pohon ace, hingga Wanti menghampiri bersama Umi.
‘’Nak, kamu tahu siapa dia?’’ tanya Wanti kepada Angel.
‘’Tidak, Ma. Siapa dia?’’ tanya Angel, seraya memandang Rayyan yang sedang bermain mobil-mobilan.
‘’Dia kakak kamu, Sayang. Kamu hormati ya, seperti kamu menghormati Papa,’’ jawab Wanti.
‘’Aku manggil dia siapa? Mas Rayyan? Namun, Ma, apakah Mas Rayyan tidak seperti Papa?’’ tanya Angel ragu- ragu.
Mendengar pertanyaan Angel, Wanti menghela napas.
‘’Tidak, Angel. Papa dan Mas Rayyan beda,’’ sanggah Wanti.
Mendapati percakapan Wanti dan Angel, Umi tersenyum beliau mengelus rambut Angel lembut.
‘’Rayyan pasti senang punya adik seperti kamu. Kalian saling sayang, ya,’’ kata Umi.
Anggukan Angel adalah jawaban dari perintah Umi. Angel pun memandang Rayyan sambil tersenyum, Rayyan yang sadar ditatap Angel lantas menghampiri.
‘’Kok, ngelihatin aku gitu? Nama kamu Angel ‘kan? Mama sudah bilang, kok. Ternyata aku punya adik, ya? Sekarang kamu adik aku, aku jagain. Yuk, main!’’ ajak Rayyan menarik tangan Angel, tetapi dia tak kunjung berdiri. ’’Angel kenapa? Nggak mau?’’
‘’Bukan nggak mau, Mas, Angel belum bisa jalan,’’ jawab Angel dengan mata berkaca- kaca.
‘’Jangan menangis, Angel. Kamu lagi sakit, ya? Ya, sudah. Aku bawa ke sini semua mainannya,’’ ucap Rayyan lalu dia mengambil mainannya.
Akhirnya, mereka berdua bermain lego, ular tangga, dan mobil-mobilan. Rayyan dan Angel pun duduk di atas tikar tepat di bawah pohon ace bersama bunga mawar yang berwarna putih hingga merah muda.
*****
Angel pun membuka matanya. Bayangan masa kecil itu telah selesai dia putar kembali. Saat ini, Angel berada di tempat yang sama, tetapi dia berbaring di atas tikar, menunggu Rayyan mengambil catatan matematika. Tak terasa, masa itu cepat berlalu dan sekarang mereka sudah remaja kelas sepuluh.
Rayyan pun datang. Mendapati Angel yang sedang melamun, refleks dia memetik bunga mawar putih di sampingnya lalu melemparkan ke arah Angel, pas kena wajahnya.
Mengetahui mawar itu mendarat di wajahnya, Angel malah tertawa.
‘’Makasih, Mas Rayyan,’’ ucap Angel, lalu duduk bersila.
‘’Makasih, makasih. Ngelamun mulu. Kesambet sukurin kamu! Ngelamunin apa, sih? Danu?’’ tanya Rayyan meledek Angel setelah duduk bersila di sampingnya.
‘’Danu? Hehehe, bukan. Kamu malah,’’ sanggah Angel.
‘’Apa yang dilamunin dari aku coba?’’ tanya Rayyan, mulai membuka buku paket matematika.
‘’Nggak ngelamun sih, tepatnya. Cuma membayangkan awal aku tahu kamu kakak sepupuku,’’ jawab Angel mengulum tersenyum.
Mendengar ucapan Angel, Rayyan tertawa. Lantas dia menoleh memandang wajah adiknya yang cantik itu, sedangkan yang dipandang pun hanya tersenyum.
‘’Nggak terasa, ya. SMP aku pulang dari luar Jawa. Padahal sudah pertengahan kelas delapan, hanya gara-gara nggak betah. Sekelas sama kamu, SMA- nya juga,’’ jawab Rayyan.
‘’Oh, ya, Mas. Kenapa nggak jadi di SMA lain dulu?’’ tanya Angel.
‘’Masih ingin menjagamu dari dekat,’’ jawab Rayyan, lalu mengambil buku tulis catatan matematika.
Belum sampai dia membuka lembaran sampulnya, tubuh Rayyan dipeluk oleh Angel dari samping.
Respons Rayyan hanya tersenyum dengan mengelus kepala Angel lembut, Angel memang sedikit manja sifatnya apalagi sama Rayyan, bagi Angel Rayyan adalah pengganti Kak Hans ketika beliau jauh darinya dan jujur, Angel tidak pernah mendapatkan hal tersebut dari sang papa.
‘’Manjamu nggak hilang, ya? Malah jadi ciri khas. Kenapa? Biasanya kalau tiba-tiba meluk ada sesuatu?’’ tanya Rayyan.
‘’Nggak ada Mas. Cuma ingin peluk saja, nyaman sih,’’ jawab Angel.
‘’Hahaha. Nyaman? Memang aku boneka beruangmu, Yayan?’’ ledek Rayyan.
‘’Lebih nyaman meluk yang beri sih, hehehe,’’ jawab Angel.
‘’Jangan gombalin orang, nanti aku ketularan.” Rayyan pun tertawa setelah berkata demikian.
“Biarin. Memang aku tukang ngegombal,” sanggah Angel masih dengan posisi yang sama.
“Oh, ya, kamu betah sekolah di SMA Rimbun Jaya? Aku tahu, kok, dulu kamu sudah keterima jurusan IPA di SMAN Darma Raya. Karena papamu, kamu cabut ‘kan? Kamu nggak menyesal?’’ tanya Rayyan.
Setelah melepas pelukannya, Angel menghela napas.
‘’Menyesal nggak, sih, Mas. Cuma kecewa saja,’’ jawab Angel.
‘’Kenapa kecewa?’’ tanya Rayyan.
Angel pun lalu mengambil tasnya dan mengeluarkan kertas, kemudian memberikan kertas itu ke Rayyan. Dia pun segera membacanya dengan teliti.
Usai membaca isinya, Rayyan terkejut. Perjanjian apa ini? Antara papa dan anak tentang sekolah? Pasal satu sampai sepuluh membuat sakit hati yang membacanya. Rayyan tak habis pikir. Memang, dia tidak dekat dengan orang tuanya. Dia juga ditekan, tetapi wajar. Pantas Angel merasa takut jika dekat dengan papanya, Angel memang beda. Kebanyakan anak perempuan akan merasa aman bila dekat dengan papanya, lain dengan Angel. Dia malah merasa takut. Apalagi setelah Angel tahu papanya mengkhianati sang mama. Meski tidak sampai cerai, trauma Angel sudah terlihat.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Wrong
General Fiction"Oh, jadi kamu minta tolong sama Brama juga? Dasar cewek sana-sini mau," ejek Ake sesekali tertawa. "Terus, mau adegan romantis lagi seperti di drama-drama Korea. Ya, mana bisa? Brama tadi sebenarnya jijik dengan adegan itu. Iya 'kan, Bram?" tanya N...