Akhirnya, setelah dada Angel lega. Dia tersenyum tipis lalu memandang Rayyan yang masih setia mengenggam tangan kananya. Yang merasa ditatap juga membalas sembari tersenyum.
‘’Aku cacat, Mas, sedangkan orang tua, lingkungan menginginkan sempurna,’’ jawab Angel lalu menghela napas.
‘’Sulit, Ngel, jadi kamu,’’ jawab Rayyan lalu menghela napas juga. “Namun, dirimu nggak salah, Ngel. Toh, siapa yang mau lahir cacat? Sisi lain juga, kamu nggak ingat apa? Janjimu pada Tuhan sebelum lahir?”
“Aku paham, Mas. Namun, tuntutan itu yang buat aku rapuh. Contoh, nih! Kamu sudah besar, anak pertama bisa jadi panutan, harus sempurna. Bagaimana aku bisa menerima diriku sendiri jika orang tuaku saja tidak dapat menerimanya?’’ tanya Angel.
“Maksudnya cacatmu karena kesalahanmu?’’ tebak Rayyan.
“Iya, itu yang membuatku serba salah dalam hidup,’’ jawab Angel.
Jawaban Angel membuat Rayyan melepas genggaman tangannya lalu duduk bersila di samping Angel yang masih berbaring. Melihat hal tersebut, Angel pun segera menyusulnya.
“Orang tuamu banyak menuntut, tetapi nggak mau bantu kamu. Oke, fine. Aku juga tahu kamu diobatkan ke mana pun. Terus, apakah berkelanjutan? Adanya marah karena berkembanganmu lambat ‘kan? Lalu, kamu mengekang dirimu. Badanmu capek, butuh support utama. Yang kamu dapat malah apa? Pemojokan untuk menyalahkanmu, padahal kamu nggak salah sepenuhnya,’’ kata Rayyan. Dia merasa dongkol sendiri.
“Mereka nggak salah, Mas Ray. Mereka sudah baik ngerawat aku hingga sekarang,’’ jawab Angel.
Ucapan adiknya membuat Rayyan mengusap wajah kasar, dia heran dengan Angel. Siapa pun yang menyakitinya selalu dia bela. Nama baik orang tersebut, tetap dia jaga.
“Iya, aku paham. Aku juga menghargai itu, tetapi apakah kita nggak bisa berontak sedikit saja?” tanya Rayyan heran.
Angel pun langsung tertawa mendengar perkataan Rayyan. Memandang hal itu Rayyan bingung.
“Nggak akan mempan, apalagi Papa. Mama saja bertekuk lutut sama dia,” sanggah Angel. “Namun, sisi lain Mama juga hebat, membelaku untuk meminta hakku bersekolah hingga sekarang. Tanpa beliau mungkin aku nggak bertemu kamu, Mas.”
“Nggak akan pernah selesai membahas orang tuamu, Ngel. Adanya capek hati, mereka terlalu egois. Memang, ya, orang tuaku juga nggak sempurna. Namun, mereka nggak sampai segitunya. Yang sabar, ya, meski aku nggak selalu di sampingmu nanti. Namun, aku tetap jadi kakakmu selamanya. Boleh peluk nggak?” tanya Rayyan melentangkan kedua tangannya dengan tersenyum.
Tanpa menjawab pertanyaan Rayyan, Angel memeluk Rayyan dengan erat. Rayyan pun sesekali mengelus rambut adiknya lembut.
“Mungkin jika aku di posisi kamu, aku nggak sekuat kamu, Ngel. Kamu pernah dihancurkan di titik keberhasilanmu. Hampir bisa jalan sendiri ‘kan waktu itu? Matamu berbinar, ada harapan indah di sana. Namun, semuanya hilang tak tersisa. Hebatnya kamu, kamu mampu bangkit,’’ ucap Rayyan di pelukan Angel.
“Iya, Mas. Terima kasih telah menjadi bagian dari semangatku,” jawab Angel lalu melepas pelukannya.
“Intinya, jangan pernah mencoba mengerti jika kamu belum belajar mengerti,” ucap Rayyan tersenyum sembari mengacak rambut Angel.
“Maksudnya, Mas?” tanya Angel bingung.
Pertanyaan Angel membuat Rayyan tertawa lalu mengambil kertas yang ada di saku seragamnya.
“Baca, gih, puisiku! Sekalian kamu revisi,” ucap Rayyan seraya memberikan kertas tersebut.
Usai menerima, Angel langsung membuka dan membacanya. Isi puisi tersebut yaitu:
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Wrong
General Fiction"Oh, jadi kamu minta tolong sama Brama juga? Dasar cewek sana-sini mau," ejek Ake sesekali tertawa. "Terus, mau adegan romantis lagi seperti di drama-drama Korea. Ya, mana bisa? Brama tadi sebenarnya jijik dengan adegan itu. Iya 'kan, Bram?" tanya N...