Akhirnya, setelah Angel dan Via dari kantin, mereka melanjutkan perjalanan kecil ke perpustakaan utama SMA Nawang Langit. Di dalamnya sangat megah. Terdapat bermacam-macam buku di sana. Angel pun ingin mengambil novel terjemahan. Meski buku yang menarik minatnya itu terdapat di atas, tetapi dia tetap berusaha mengambil.
Angel pun masih berjinjit-jinjit. Namun, dia belum berhasil juga. Jujur memang banyak orang di situ. Namun, Angel belum berani meminta tolong, sedangkan Via hanya mengantarkan saja tadi. Angel masih mencoba untuk meraih buku tersebut dengan tangan kanannya dan yang kiri pun dia gunakan buat berpegang wolker. Hingga pada akhirnya, karena Angel memaksakan diri, keseimbangan tubuh pun terganggu.
Bruk!
Angel jatuh terlentang dengan wolker menindih tubuhnya. Untung Angel refleks mengangkat kepala agar tidak terbentur keramik.
Mendengar suara keras, penjaga perpustakaan langsung menghampiri Angel disusul murid-murid lainnya.
“Adik, nggak apa?” tanya perempuan penjaga perpustakaan itu sembari membantu Angel duduk, sedangkan wolkernya telah dipindahkan oleh murid berambut pirang yang berdiri di samping kanan Angel.
Fahmi yang baru saja masuk perpustakaan. Dia langsung menghampiri kerumunan itu, Fahmi pun panik ketika Angel-lah yang dikerumuni.
“Kak Angel, kamu kenapa?” tanya Fahmi khawatir. Tahu-tahu dia telah jongkok di samping penjaga perpustakaan.
“Dia jatuh tadi, Fahmi,” sahut penjaga perpustakaan itu.
Sahutan sang penjaga perpustakaan membuat Fahmi refleks menyentuh kepala Angel.
“Pusing nggak, Kak. Kepalanya?” tanya Fahmi dia memeriksa kepala Angel. Namun, sebelum sang empunya nama menjawab. Fahmi berkata lagi. “Kita ke UKS!”
Setelah berkata demikian, Fahmi segera saja membopong tubuh Angel. Di bopongan Fahmi, Angel menatap Fahmi dengan heran. Dia tak habis pikir, Fahmi sekhawatir itu padanya. Sebelum Angel keluar perpustakaan dengan Fahmi, Fahmi meminta tolong kepada cewek berambut pirang tadi untuk membawakan wolkernya ke UKS dan dia pun menyanggupi permintaan Fahmi.
*****
Tiba di UKS, Angel telah dibaringkan di atas brankar dan sedang diperiksa dokter. Fahmi pun menungguinya di samping brankar Angel dengan berdiri. Kentara sekali raut wajahnya yang sangat khawatir. Mengetahui hal tersebut, Angel menyentuh lengan kanan Fahmi sembari tersenyum. Empunya pun langsung mendekat saja.
“Fahmi, aku nggak apa. Sudah jangan khawatir gitu,” ucap Angel.
Perkataan Angel membut Fahmi mengelus rambut Angel lembut.
“Aku tetap khawatir, Kak. Jatuh sekecil apa pun itu nggak bisa disepelekan, harus segera dicek dan dipastikan agar semua beneran baik-baik saja. Bagaimana, Dok? Kak Angel baik-baik saja? Kepalanya nggak apa?” tanya Fahmi beralih ke Dokter dan menghentikan perlakuannya kepada Angel.
“Dik Angel nggak apa, Fahmi. Hanya saja jangan sering jatuh, ya. Kasihan tubuhmu yang masih belajar memfungsikan anggotanya. Kamu disabilitas ‘kan? Lahir enam bulan pasti,” jawab Dokter itu beralih ke Angel seraya tersenyum. “Lain kali lebih hati-hati lagi, ya. Saya nggak kasih obat, hanya vitamin saja biar tubuhmu nggak drop, terus jangan banyak pikiran juga.”
Mendengar hal itu Angel menghela napas pelan. Lagi-lagi pesan dokter sama; jangan banyak pikiran. Usai menghela napas, Angel menatap dokter tersebut.
“Pikiran saya berisik, Dok. Susah dikendalikan, adakah cara untuk memberhentikannya?” tanya Angel.
Respons Angel membuat dokter itu tertawa lalu dia menatap Angel lembut. Dia mengenggam tangan kanan Angel.
“Pikiran yang berisik memang tidak dapat dikendalikan, Dik. Bisanya, disalurkan dengan baik,” jawab Dokter.
“Caranya?” tanya Angel dan Fahmi bersamaan.
“Apa yang kalian suka, itu jawabannya. Namun, yang positif, ya,” kata Dokter itu mengingatkan lalu melepas tangannya. “Sebentar, ya. Saya ambilkan vitaminnya dahulu.”
Akhirnya, setelah mendapatkan vitamin itu. Angel dan Fahmi kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
*****
Pelajaran terakhir pun selesai. Angel dan Via bergegas pulang. Namun, sesampai di rumah kakek neneknya, Angel mendapati sang papa sedang berbicara dengan mamanya di ruang tamu.
Di sisi lain, sang nenek yang mendapati kedua cucunya sudah pulang sekolah segera saja menghampiri dan mengajak mereka ke taman belakang rumah. Angel yang sudah duduk di ayunan merasa gelisah. Hal tersebut dirasakan oleh sang nenek yang duduk di samping kanan Angel, sedangkan Via dia sudah sibuk dengan bunga daisy putih yang sedang dipetiknya untuk dirangkai nanti.
Nenek pun mendekap Angel sembari memandang gerak-gerik Via tersebut.
“Sayang, apakah kamu akan selalu menerima keputusan mamamu?” tanya Nenek.
“Soal apa dulu, Nek?” jawab Angel.
“Papamu,” ucap Nenek.
Mendengar ucapan nenek, Angel menghela napas.
“Aku pun terserah Mama, Nek. Mama yang berhak dan tahu yang baik. Toh, aku juga nggak bisa apa-apa. Pendapatku nggak didengar, Nek. Capek,” jawab Angel.
“Kalau mamamu bertahan?” tanya Nenek.
Deg!
Pertanyaan sang nenek membuat Angel terkejut. Dia melepas pelukan neneknya lalu menatap dengan sesekali menggeleng.
“Apa alasannya bertahan, Nek?” tanya Angel tak habis pikir.
“Bertahan itu mungkin sakit di suatu posisi, Ngel. Namun, bertahan adalah belajar ikhlas dalam sebuah keputusan. Mungkin, mamamu sedang belajar itu, Ngel. Kamu harus terima, ya?” pinta Nenek seraya tersenyum.
Tanpa berkata apa pun lagi Angel segera beranjak dari duduknya dan berjalan menggunakan wolker. Sang nenek tahu, cucunya tersebut ingin menyusul papa mamanya di ruang tamu. Nenek awalnya ingin menyusul. Namun, beliau dicegah Via. Akhirnya, Via-lah yang menyusul Angel setelah meletakkan setumpuk bunga daisy di ayunan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Wrong
General Fiction"Oh, jadi kamu minta tolong sama Brama juga? Dasar cewek sana-sini mau," ejek Ake sesekali tertawa. "Terus, mau adegan romantis lagi seperti di drama-drama Korea. Ya, mana bisa? Brama tadi sebenarnya jijik dengan adegan itu. Iya 'kan, Bram?" tanya N...