Pandangan sinis Brama kepada Nalia membuat empunya tertegun, lantas dia menghela napas.
"Mengapa kamu memandangku seperti itu, Bram? Bukannya kamu memihakku? Perkataanku nggak salah, Bram. Orang seperti Angel memang harus disudutkan biar dia tahu diri. Nggak nyusahin saja," kata Nalia.
Jawaban Nalia membuat Brama mengerti, jika orang kebanyakan tidak memandang dirinya sendiri dulu sebelum menilai orang lain.
"Lantas, orang seperti apa yang sudah bisa tahu diri? Kamu?" tanya Brama meskipun dia sudah lelah berdebat, tetapi ia ingin tahu pemikiran Nalia. Benar tidak, selama ini penilaiannya.
Nalia pun tersenyum bangga dengan pertanyaan Brama lalu dia menghela napas.
"Iya, mungkin aku lebih baik daripada Ake," jawab Nalia.
Mendengar hal itu Ake yang berdiri di samping Nalia mendengkus kesal, kemudian dia memandang Brama dengan tersenyum.
"Kalau Brama jelas yang terbaik aku, dong. 'Kan Brama cintanya sama aku," sanggah Ake.
Deg!
Jawaban Ake membuat Brama geram, jadi selama ini dia tahu bahwa ada orang yang mencintainya? Namun, mengapa Ake tidak memilih salah satu di antara mereka? Padahal, Brama dan Krisna telah bersaing secara sehat untuk mendapatkan hatinya, sedangkan Nalia hanya tertawa mengetahui hal tersebut. Temannya ini lucu. Mengapa cinta Brama harus dibawa-bawa?
"Terus, Krisna? Dia sahabatnya Angel juga, lho," sanggah Nalia.
"Dia lebih dulu jadi sahabatku, daripada sahabatnya Angel. Angel cuma ketemu dari SMP, sedangkan aku dari kecil," jawab Ake.
Brama pun sudah jenggah mendengar perdebatan Ake dan Nalia, kemudian menghela napas berat.
"Stop, cukup Ake! Aku sudah muak dengan semuanya, kamu tahu hal apa yang lebih menjijikan daripada yang kamu ucapkan tadi?" tanya Brama kesal."Apa, Brama? Nggak ada yang lebih menjijikan daripada kelakuan cewek ini," kata Ake dengan menunjuk Angel yang masih duduk di depannya.
Perkataan Ake memang sangat menyakitkan bagi Angel. Namun, dia hanya sesekali menghela napas untuk mengatur perasaannya. Sengaja dia belum beranjak, agar mentalnya semakin kuat.
"Hal yang paling menjijikan bukan perihal cacat fisik, Ake. Namun, cacat hati yang hanya bisa melihat keburukan orang lain dan lupa atas keburukannya sendiri. Manusia nggak ada yang sempurna, Ake. Aku sekarang berhenti mengejarmu. Bukan sebab sifat kamu yang seperti itu dan bukan pula karena Angel. Aku capek. Itu saja," ucap Brama, kemudian dia berjongkok memandang Angel. "Kamu bisa sendiri 'kan, Ngel? Wolkermu nggak jauh dari sini, kok. Aku pergi dulu."
Setelah berucap demikian, Brama keluar kelas. Melihat perubahan sikap Brama terhadap dirinya, Ake bergegas menyusul begitu pula Nalia, sedangkan Angel mulai merangkak menghampiri wolkernya lalu berdiri. Namun, baru beberapa menit berdiri, Nadinia datang dia langsung panik ketika mengetahui napas Angel ngos-ngosan.
"Kamu habis ngapain, Ngel? Abit ngapain kamu lagi?" tebak Nadinia khawatir.
"Bukan Abit. Namun, aku tadi jatuh ke lantai terus kaki sakit dan aku masih paksaiin buat merangkak ambil wolker jadi seperti ini," jawab Angel sesekali terbata-bata karena menahan rasa sakit. Namun, mendadak Angel jatuh dia sudah tak kuat untuk berdiri lagi.
Di situasi itu Angel masih menahan rasa sakit pada kakinya. Entah mengapa akhir-akhir ini tubuh Angel terasa capek sekali. Bahkan dia duduk tanpa bantuan kursi pun hanya beberapa menit saja kakinya sudah sakit dan kaku, tak terkecuali rasa tersebut juga menjalar ke kedua tangannya. Angel masih berusaha tenang, tetapi tidak membuahkan hasil. Nadinia sendiri cuma bisa memandang Angel karena dia tak berani bertindak jika Angel sudah begitu, dia takut akan menambah rasa sakit dalam tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Wrong
General Fiction"Oh, jadi kamu minta tolong sama Brama juga? Dasar cewek sana-sini mau," ejek Ake sesekali tertawa. "Terus, mau adegan romantis lagi seperti di drama-drama Korea. Ya, mana bisa? Brama tadi sebenarnya jijik dengan adegan itu. Iya 'kan, Bram?" tanya N...