"Mau kemana kalian!" Suara tajam itu meloncat dari belakang mereka, menggema tepat di depan pintu ruangan yang telah mereka masuki . Phobia seketika membelenggu keduanya, membuat kata-kata mati di ujung lidah mereka.
Seiring dengan getaran suara, pintu masuk menjadi semakin gelap, seolah-olah menelan keberanian mereka. Seorang pria muncul dengan langkah yang berat. Tubuhnya tertutup persenjataan lengkap, mengilap dalam bayangan yang menyelimuti ruangan.
Tatapan matanya tajam, mencerminkan kekejaman yang tak tergoyahkan. Wajahnya tertutupi di balik coretan hitam , dan senjata yang dipegangnya tampak mengancam. Keduanya terpaku pada pemandangan itu, takut untuk menghela nafas, takut untuk membuat gerakan.
"Rupanya gadis ini ya" Pria itu menatap tajam ke arah Philia, tepatnya rambut perak miliknya yang menjadi incaran dalam misi mereka. Pasukan mereka telah disebar, dan tidak di sangka bahwa gadis ini malah datang menghampirinya.
Senyum licik terpancar dari wajahnya, bayangan kegelapan menciptakan siluet yang mencekam. Melangkah maju mendekati keduanya, menghantui setiap sudut ruangan yang semakin terasa gelap. Sambil menghunuskan sebilah benda tajam yang mengancam.
Dia tidak sendiri, beberapa rekanya sudah berada di dalam ruangan itu setelah membunuh semua orang di ruangan. Terlihat bayangan hitam dari dua orang mendekati mereka, mengepung mereka dari segala arah.
Perawat yang bersama Philia, terombang-ambing dalam ketakutan. Langkah mundurnya terdengar seperti desisan napas terakhir di tengah gulita. Kini, cairan kental merah mulai mengoyahkan langkahnya dan membuatnya tergelincir.
Akhirnya, perawat itu kehilangan keseimbangan dan jatuh,
"Akhh," teriakannya terhenti begitu dagunya membentur lantai yang dingin. Matanya, penuh teror, menatap ke depan. Di hadapannya sejumlah mayat berserakan, tubuh mereka tergeletak dalam genangan cairan merah . Wajah-wajah yang terluka dan tubuh yang tersayat tergeletak begitu saja, itu menjadi pemandangan horor yang tak terbayangkan baginya.
Nafasnya mulai sesak di ikuti tatapan tidak percaya, baru saja di pergi sebentar bersama Philia ke toilet kini orang orang yang tertidur memenuhi ruangan rumah sakit menjadi mayat yang mengotori lantai dengan darah mereka.
"Tidak... tidak," desisnya dengan suara yang gemetar, ketidakpercayaan membeku dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Philia, yang masih terikat pada kursi roda, merasakan darahnya memanas dalam kepanikan. Tangannya gemetar saat dia menggenggam belati yang tersembunyi di balik roknya, siap menghadapi ancaman yang semakin nyata.
"Waktu kita masih lama, bukan?" ucap salah satu pria dengan nada merendahkan, suara mereka meluncur dalam keheningan gelap ruangan. "kurasa bersenang senang sebentar tidak ada masalah" Senyum mereka menusuk, memperlihatkan gigi yang tajam dan ekspresi kejam. Tawa mereka memenuhi ruangan, sebuah harmoni kegelapan yang menyelimuti rasa ketakutan.
Mereka mengabaikan permohonan dan melihat tubuh kedua wanita di depan mereka dengan penuh kesenangan . Perawat itu berlutut, berusaha meraih kebebasan yang semakin menjauh. Namun, tangan-tangan pria itu menariknya ke dalam kegelapan.
"Ku mohon, lepaskan aku!" seru perawat itu, tetapi permohonannya tidak lebih dari suara gemetar yang terhenti di tengah jalan. Kedua pria itu menarik tubuhnya, mengunci setiap gerakan yang berusaha melawan. Mereka bermaksud untuk menyenangkan diri dengan tubuhnya.
Philia hanya bisa terdiam di kursi roda, menyaksikan kedua pria itu hendak memperkosa perawat itu. Dia memegang belati dengan tangan gemetar, tetapi keputusasaan melilitnya. Kursi roda Philia ditarik dengan kasar oleh salah satu pria, tubuhnya terlempar seperti boneka yang tak berdaya menuju ranjang di sudut ruangan.
Teriakan Philia tertahan oleh kebisuannya, dan gelombang ketidakberdayaan memenuhi ruangan. Kejahatan merajalela dalam kegelapan, dan dua wanita itu, terperangkap dalam lilitan kengerian, menatap malam yang tak berujung.
***
"Semuanya bangun, cepat lari, selamatkan diri!" Teriakan Rafael menciptakan kekacauan, membuyarkan tidur setiap orang di ruangan. Suara tembakan yang menggema di ruangan sekitar lapang belakang rumah sakit membuat detak jantung mereka melonjak ke tingkat yang mengkhawatirkan.
"Apa ini?"
"Serangan musuh!"
Ketakutan merebak dengan cepat di antara mereka. Panik mendalam menyelinap ke dalam setiap celah pikiran, memicu refleks bertahan hidup. Mereka berlarian tanpa arah, mata mereka mencari tempat perlindungan yang lebih aman. Langkah-langkah tergesa-gesa memenuhi koridor, dan hiruk-pikuk suara langkah itu menciptakan orkestrasi kepanikan.
Suara tembakan terus bergema, mengingatkan mereka pada ancaman yang nyata. Malam hari yang biasanya damai menjadi saksi dari kekacauan ini. Mereka merasa terlalu rentan di tengah ladang kegelapan yang menyerang dari sudut-sudut yang tak terlihat.
Rafael memimpin rombongan dengan wajah yang tegang, mata penuh dengan kekhawatiran. Setiap langkah terasa seperti berlari melawan waktu, menghindari malapetaka yang terus mendekat. Keheningan panik dipotong oleh suara jerit dan teriakan, menciptakan simfoni kepanikan yang tidak bisa dihindari.
Mereka mencapai tempat perlindungan yang lebih aman, tetapi nafas mereka masih terengah-engah oleh rasa takut. Suasana tegang melingkupi mereka seperti kabut yang tak terelakkan. Di tempat perlindungan sementara itu, mereka menunggu, mata penuh ketidakpastian, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di tengah badai kegelapan yang mendekat.
"Apa yang terjadi, bagaimana mereka bisa menyusup ke sini?" Rafael berkata dengan nada bingung, kebingungannya menggema di koridor yang dipenuhi kepanikan. Dia merasa detak jantungnya mempercepat seiring dengan kekhawatiran yang merayap dalam pikirannya.
Dengan tatapan penuh kebingungan, Rafael mulai menyebarkan rekan-rekannya untuk mengevakuasi seluruh pasien yang ada. Keadaan semakin sulit diukur, dan dia harus memprioritaskan keselamatan pasien sebelum berhadapan langsung dengan musuh yang menyusup tanpa ampun.
Komunikasi dengan Penjagaan di halaman belakang rumah sakit telah terputus, dan Rafael curiga bahwa mereka semua telah mati. Namun, kepanikannya semakin meningkat ketika seorang gadis dengan mata penuh kepanikan mendekatinya.
"Rafael !"
"ada apa Clara"
"Ini gawat, daerah halaman belakang itu adalah tempat anak anak, dan ruangan Philia berada"
Rafael terdiam,kenapa dia tidak terpikirkan hal itu, dia benar benar bodoh sampai melupakan hal itu, kepanikanya telah melupakan bahwa selama ini mereka selalu menghabiskan waktu disana. Dia benar benar menyalahkan dirinya sendiri telah mengabaikan mereka, dan menyibukan diri di tempat aman.
Dengan penuh tekad Rafael mengambil senapanya dan berlari menuju halaman belakang. mungkin persentasenya kecil untuk menyelamatkan mereka, apa lagi dia seorang diri. Namun entah kenapa hatinya mendorongnya untuk terus bergerak kesana tidak peduli apa yang terjadi.
"Rafael itu berbahaya, kita tunggu sampai bantuan datang" teriak Clara dengan khawatir namun diacuhkan begitu saja oleh pria itu.
Berlari secepat yang dia bisa melewati lorong lorong rumah sakit. Sambil terus berharap bahwa mereka semua masih baik baik saja. Dia benar benar tidak habis pikir kenapa musuhnya menargetkan rumah sakit yang jelas jelas dilarang keras dalam aturan perang. Terlebih lagi apa yang terjadi pada penjagaan di garis depan dan dari mana musuh musuh ini berasal.
"Philia ku harap kau baik baik saja" Hanya bisa berharap bahwa gadis itu baik baik saja melihat kondisinya yang tidak memungkinkanya untuk berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEMESIS Flowers Bloom Under The Night Sky
FantasyVol 3 dari Series NEMESIS Jiwa yang telah lama bersatu kita mulai berpisah. Philia harus berusaha beradaptasi dengan segala perubahan di dalam dirinya. Di bantu oleh seseorang yang dia kenal saat masa kecilnya membuat dirinya melihat dunia dari sudu...