16► make me feel your freedom just once (psh)

236 92 108
                                    

Terkadang suatu keberhasilan terjadi bukan karena potensi, melainkan hoki. Tak peduli seberapa keras seseorang berusaha, jika dia tidak beruntung, tetap saja kegagalan yang akan didapat.

Sialnya, itu terjadi pada Retha kemarin lusa. Keputusan menantang Jake-Sunghoon sebenarnya bukan masalah besar. Hanya, Dewi Fortuna tidak memihaknya. Kesalahan kecil justru menjauhkan gadis itu dari kemenangan.

Retha mendengkus, tetapi lidahnya gatal ingin mengumpati semua orang. Gadis dengan vest krem itu lalu berhenti di depan pintu sebuah ruangan. Lorong lantai dua kebetulan sepi. Jam makan siang memang baru berbunyi sepuluh menit yang lalu.

"Punten, permisi, excuse me!" Suara alto Retha menggema di sepanjang koridor. "Ada orang di dalem? Tolong bukain pintunya, dong!"

Tidak ada jawaban. Retha berdecak dan secara refleks menendang tong sampah. Mengingat kedua tangannya memegang nampan makanan, dia tidak bisa langsung masuk begitu saja. Ini adalah sesuatu yang paling gadis itu benci.

Menunggu tanpa kepastian sangat melelahkan, bukan?

Siang itu terasa panas. Retha mendekat ke palang koridor, menengok tepi lapangan yang menjadi tempat Ni-Ki dan Heeseung bermain bola basket. Mulut Retha terus menggerutu.

Seseorang dengan seragam berantakan muncul tanpa Retha sadari. Jake membuka lebar pintu ruang OSIS, bersandar pada kusen sambil menyilangkan tangan. "Salam baik-baik bisa nggak, sih?"

Sontak saja Retha berbalik badan. Namun, sebelum dia sempat mengomel, Jake lebih dulu mengambil alih nampan makanan dari tangannya.

Retha nyaris mengumpat. "Kalo dipanggil tu jawab! Gua—"

"Thanks, btw," potong Jake lantas masuk begitu saja. Pintu ditutup setelah Jake melempar seringaian licik yang mengundang emosi. Detik itu juga, Retha benar-benar merasa dianggap sebagai pembantu.

Tangan Retha mengepal erat, tetapi dia mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri dengan cara mengambil napas panjang. "Sabar, Re. Cuma seminggu, habis tu lo bisa bebas lagi."

Baru saja Retha melangkah untuk pergi, pintu kembali terbuka. Jake menarik tangan kiri Retha tanpa aba-aba, membuat gadis itu hampir terhuyung ke belakang.

"Apaan, sih, lo?" sungut Retha saat Jake menyeretnya masuk ke ruang OSIS. Seketika dia merasa sesak berada di ruangan itu. "Buset panas banget tempat lo! Simulasi siksa neraka apa gimana?"

"AC-nya rusak."

"Terus lo ngapain ngajak gue ke sini?"

Jake melepaskan tangan Retha lalu membuka pintu ruangan lain. Retha yakin itu adalah tempat khusus milik pengurus utama OSIS. Terlihat sebuah meja dan enam kursi di sana, lengkap dengan lemari, jajaran buku, dan kertas-kertas yang berserakan.

"Masuk sini," ujar Jake yang menatap Retha dari dalam ruangan, berdiri tanpa melepas pegangan pada knop.

Tentu saja Retha merasa aneh. Berada di ruangan kecil berdua membuat pikirannya ke mana-mana, terlebih Jake pernah mengatakan sesuatu yang ambigu beberapa hari silam.

"Di mana anak OSIS lain?" tanya Retha sambil celingukan, mengundang decakan sebal dari Jake.

"Masuk, Re."

"Ogah, gerah di sana."

"Bacot amat jadi cewek!" Sontak Jake menarik tangan Retha lagi. Habis sudah kesabarannya. "Bantuin gue nata dokumen! Ga sampe sepuluh menit kelar!"

"What?" Retha berseru, tetapi Jake mengabaikan. Dia malah mendorong gadis itu agar mau duduk di atas karpet.

"Itu udah gue kelompokin, lo tinggal ikat terus tumpuk biar rapi," ucap Jake seraya menunjuk kertas di samping meja. Dia menggeser kursi ke tepi ruangan, menikmati makanannya sekaligus memantau.

Foreshadow | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang