07► just do it, i insist (psh)

217 76 47
                                    

Weekend telah tiba! Retha senang sekali walaupun pekerjaan sampingannya menumpuk. Jujur dia lebih suka menyibukkan diri dengan hobi daripada gabut di rumah.

Saat ini dia berada di coffee shop, berduaan bersama laptop. Jay keluar bersama Heeseung, katanya mau bersih-bersih markas baru. Retha tahu kalau mereka hendak membuat band.

"Mbak, nambah caramel macchiato-nya satu." Permintaan Retha langsung diangguki oleh seorang barista. Sudah tiga kali gadis itu memesan menu yang sama. Dia tidak mempedulikan perutnya yang mulai kembung.

Retha kembali fokus pada layar laptop yang menampilkan aplikasi edit video, sedangkan satu tangannya memegang ponsel. Berulang kali dia menjauhkan benda itu dari telinga saat suara melengking seseorang klien terdengar.

"Glitch-nya kurangin aja, Tha. Lebay kalo kebanyakan."

Retha mendengkus. Percuma saja dia begadang kemarin kalau ujung-ujungnya direvisi lagi. "Berarti balik ke contoh yang gua kasih kemarin?"

"Yup. Tulisannya ganti warna oranye yang soft coba, jangan terlalu pink."

Lo yang minta padahal, batin Retha. Tangannya tampak lihai menekan mouse dan keyboard. Sebisa mungkin dia bersabar. Tantangan seorang freelance memang sekencang badai. "Ganti apa? Pale peach mau?"

"Ah, ya! Peach! Boleh-boleh."

"Opening sama font-nya udah oke belum? Biar gua bisa langsung perbaiki detail kecilnya." Lama-kelamaan mata Retha perih. Dia mulai bosan melihat foto dan mendengar ocehan model naik daun itu.

"Udah sip. Makasih, ya, Tha."

Sambungan telepon itu terputus bersamaan dengan datangnya pesanan Retha. Dia mendengkus kasar lalu kembali konsentrasi agar tidak ada kesalahan lagi. Beberapa detik setelah itu, tiba-tiba Retha merasakan embusan ringan menerpa telinganya.

"Editor, hm?"

Retha mematung ketika mendapati wajah Sunghoon yang begitu dekat. Laki-laki itu mengamati layar laptop Retha tanpa ekspresi, sebelum akhirnya duduk di kursi tak jauh dari sana.

"Cuma bantu temen." Jantung Retha hampir tak terselamatkan. Beruntung dia punya laptop yang bisa dijadikan pengalihan. "Buat ngisi waktu biar ga gabut-gabut amat pas weekend."

"Oh." Jawaban Sunghoon hampir membuat Retha mengacungkan jari tengah.

"Beli kopi apa, Bang?" tanya Retha, sekadar untuk mengisi kesunyian.

"Menurut lo?" Sunghoon malah bertanya balik, membuat tangan Retha yang awalnya sibuk menggerakkan mouse tiba-tiba berhenti. Sejenak dia merutuk pada dirinya sendiri karena telah mengajukan pertanyaan tidak berbobot.

Retha menoleh pada Sunghoon yang menghadap ke depan. Jika bukan senior, mungkin Retha sudah menoyor laki-laki itu sekarang. Perangainya yang dingin plus menyebalkan benar-benar menguras kesabaran.

"Btw, gua udah lihat poster lo di mading. Congrats." Entah kenapa Retha malah membuka topik lagi. Gemas saja kalau suasana di tempat itu dibiarkan hening.

"Thanks," jawab Sunghoon tanpa repot-repot membalas tatapan Retha.

Retha melanjutkan aktivitas yang tertunda. Duduk sendirian memang menenangkan baginya. Namun, mengobrol sambil bekerja juga tidak terlalu buruk ternyata. "Udah lama main ice skating?"

"Hm."

"Seru, nggak?"

"B aja."

"Arena ice skating yang bagus di mana, sih?"

Foreshadow | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang