Dilihat dari mana pun, benar-benar tidak ada celah sama sekali untuk Retha bergerak. Tenaga Chris bukan tandingannya. Dijebak dan diancam, sepertinya Chris memang sengaja melakukan ini untuk memaksanya tunduk.
"Gue kasih satu kesempatan lagi." Terlepas dari paras dan suaranya yang sensual, aura Chris terasa sangat menyeramkan. Dia tersenyum, sengaja menggoda Retha tepat di depan wajahnya.
"Jangan macem-macem," tandas Retha yang sialnya malah makin membuatnya terpojok.
"Kenapa? Lo takut?" Tatapan Chris dengan lancang turun dari leher ke kancing teratas kemeja Retha.
"Gue nggak takut! Lepasin gue atau lo—BRENGSEK!"
Retha makin memberontak ketika Chris memindahkan kedua lengannya ke atas kepala, mengunci gadis itu dengan satu cengkeraman. Tangan Chris yang bebas mulai nekat menanggalkan dua kancing Retha, mengekspos kulit dan bahunya yang tidak ada lecet sedikit pun.
"I can start anywhere," ucap Chris yang membuat Retha benar-benar ingin meludahinya.
"Sumpah, Chris. Gue pastiin lo—FUCK! GUE BILANG JANGAN MACEM-MACEM!"
Chris yang baru saja mendekat langsung bangkit ketika dahi Retha menghantam kepalanya. Umpatan sekaligus erangan lolos bersamaan dengan suara meja yang terdorong. Dia ber-cih sebab Retha berhasil bebas.
Segera Retha menyambar ponselnya, berlari menuju pintu dan tak lupa merobohkan lemari untuk memblokir jalan Chris. Chris berteriak. Emosi membuatnya tanpa sadar melemparkan botol ke arah Retha. Namun, siapa sangka itu meleset. Pergerakan Retha lebih cepat dari dugaannya.
Retha meringis sambil terus berlari. Membenturkan kepala ke lawan memang menjadi pilihan terbaik untuk lepas dari kukungan, tetapi itu bukanlah cara yang efektif jika dilakukan secara asal-asalan. Sekarang yang Retha rasakan justru pening bukan main. Entah sampai kapan dia harus menahan rasa sakit itu.
Tangan Retha gemetar, sementara kaki dan matanya terus memindai sekitar demi mencari jalan keluar. Persetan dengan bajunya yang berantakan, yang jelas dia harus keluar dari sini karena Chris pasti masih ingin menangkapnya.
Dengan cepat, Retha menggulir layar untuk membuka kunci. Seketika beberapa ruang obrolan muncul, termasuk grup kelas yang mungkin ramai membahas tugas sekolah. Kontak Heeseung berada di barisan teratas. Segera saja dia klik ikon telepon untuk membuat panggilan dengannya.
"Heeseung? Angkat telepon gua, please!" mohon Retha pada Heeseung. Heeseung adalah harapannya satu-satunya. Mustahil dia menghubungi teman lain, apalagi Ni-Ki. Retha yakin tindakan Ni-Ki juga akan sama gilanya dengannya.
"Halo?"
Retha mematung begitu suara familier menjamah pendengarannya. Sialnya, suara ini bukanlah suara yang dia kehendaki.
Shit. Buru-buru Retha mematikan telepon itu dan kembali ke rencana awal. Mungkin takdir memang sengaja memintanya untuk berusaha kabur seorang diri. Salah dia juga karena terlalu berharap pada orang lain.
Retha menoleh ke kanan-kiri setelah tiba di pertigaan lorong. Besi-besi usang memalang dari berbagai sisi, hampir menutupi jalan sebab ukurannya cukup besar. Dinding penuh graviti membuat tempat itu terlihat makin sempit. Retha benar-benar tersiksa karena matanya tidak mampu melihat dengan baik di bawah penerangan yang minim.
Kaki Retha sudah terlatih berkat ekstrakurikuler yang diikutinya. Melompat tanpa menimbulkan suara bukan lagi menjadi masalah baginya. Dia tampak lincah melewati palang besi walaupun sempat oleng karena tidak sengaja menginjak lubang di tanah.
"Cewek di bar tadi kelihatannya oke."
Tubuh Retha menegang tepat di ambang pintu keluar. Asap rokok yang cukup tebal mengudara bersamaan dengan obrolan beberapa orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foreshadow | ENHYPEN
Fanfiction"They shine with their own light. I love them, always and forever." Sebelumnya kamu hanya mengagumi suara mereka dari compact disk milik kakakmu. Namun, siapa sangka semua anggota band itu adalah orang-orang yang selama ini sering mengganggumu. Mere...