22► how long will you feel this pain? (nsr)

149 52 58
                                    

Semalam Heeseung benar-benar membongkar semua hal yang terjadi pada Retha ketika Jay bertanya. Mereka bicara enam mata di ruang tamu, persetan dengan waktu yang hampir menginjak pukul dua belas dini hari.

Anehnya, Jay tidak marah saat itu. Dia hanya diam sembari mengobati luka Retha dengan hati-hati, mendengarkan setiap perdebatan Retha dan Heeseung tanpa emosi. Lebih baik dia tutup mulut daripada membela salah satu dari mereka.

Sebenarnya Jay merasa bersalah karena belum bisa menjaga Retha. Dia selalu didahului oleh Heeseung, padahal ikatan mereka tidak lebih dari sebatas junior dan senior. Selain itu, Retha juga tidak terlalu terbuka padanya dan lebih suka bercerita dengan Heeseung.

Seperti biasa, sekarang Jay tengah menyiapkan sarapan sendirian di dapur. Grillades dan grits menjadi menu mereka pagi ini. Terdapat bumbu, udang, dan sosis di atasnya. Tak lupa Jay juga mengiris daun bawang untuk ditaburkan sebagai pelengkap rasa.

Retha memandangi Jay yang berlagak seperti koki profesional dari atas tangga, menggeleng-geleng karena tingkah lucu laki-laki itu. Tak lagi meletakkan kepala di atas palang, kini dia menuruni tangga sembari terus berhati-hati sebab keadaannya belum sepenuhnya pulih.

Sekilas Jay melirik adiknya, hanya terbalut hoodie oversize dan hotpants dengan rambut wolf cut yang mulai panjang. Jay mendengkus. Entah sudah berapa kali dia mengingatkan Retha untuk memakai baju yang lebih sopan, apalagi di pagi hari seperti ini.

"Balik ga lo?" sinis Jay sembari berkacak pinggang. Selain cosplay menjadi asisten rumah tangga, dia juga perlu berakting sebagai ibu saat berhadapan dengan Retha. "Gue beliin rok lama-lama kalo lo tetep kayak gitu."

"Gua belum mandi, Bang. Entar aja dah, sekalian ganti." Retha terus berjalan menuju ruang makan. Sebenarnya dia menghindari memakai celana karena takut lututnya bergesekan dengan kain.

"Alesan aja terus," sungut Jay sembari meletakkan keju cheddar ke mangkuk saus.

"Dah telanjur turun elah."

"Suka-suka lo," ujar Jay pada akhirnya, lebih memilih melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Jay tampak mengembuskan napas berkali-kali. Percuma saja dia berceloteh panjang lebar. Berdebat dengan si kepala batu tidak akan ada habisnya.

"Hai, Re."

Tiba-tiba seseorang menyapa dari belakang, membuat Retha mendelik dan sontak berbalik badan. Jungwon tersenyum polos ketika mata mereka bertemu. Seakan terbiasa melihat kehadirannya di sana, Jungwon berjalan santai melewati Retha begitu saja.

"Anjir," umpat Retha yang masih membeku di tempat. Matanya lalu tertuju pada Jay yang tadi sempat melirik dengan pisau di tangan. "Apa-apaan ini? Lo ngapain di sini, Won?"

"Kaget lo?" Jungwon terkekeh kecil pada Retha sebelum menarik salah satu kursi meja makan.

"Jay yang kasih tau lo?" sungut Retha sembari mendekat ke arah Jungwon. Jungwon sendiri hanya tersenyum, sengaja tidak menjawab.

Retha mengerang, membanting dirinya ke kursi di sebelah Jungwon karena kesal. Kenapa Jay tega membongkar rahasia yang mati-matian dia sembunyikan? Apalagi ini pada Jungwon, teman sekelasnya!

"Dahlah, capek gue." Keluhan lolos dari bibir pucat Retha. Dia lalu menepuk pundak lebar Jungwon, memberikannya peringatan melalui isyarat mata. "Denger, ya, Won. Ini rahasia kita. Awas aja kalo lo bilang ke orang lain kalau gue adiknya Jay."

"Emang kenapa?" Jungwon membalas tatapan Retha.

"Pokoknya jangan!" teriak Retha yang langsung mengundang lirikan tajam dari Jay. Sengaja dia mengeraskan suara pisau pada talenan, tetapi Retha tidak peduli. Mana mungkin dia terpengaruh dengan teguran semacam itu.

Foreshadow | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang