Bab 11

17.7K 1.1K 28
                                    

Pov Rainy

"Maaf Sadewa, rupanya dompetku tertinggal di rumah" Aku sudah mengobrak abrik isi tasku. Namun nihil. Dompetku memang tidak ada di dalam sana.

"Bawa saja dulu bunganya Rain. Kamu bisa membayarnya saat mampir" Sadewa menyerahkan satu buket bunga lily ke hadapanku.

"Jangan" Tolakku tidak enak kepada Sadewa. Kami baru bertemu beberapa kali. Rasanya tidak enak kalau berhutang kepadanya.

"Apa kamu akan pergi ke tempat putrimu dengan tangan kosong? Dia akan sedih jika ibunya lupa membawakannya bunga" Sadewa memperingatiku dan sepertinya dia tidak menerima penolakan. Dia menyerahkan buket bunga lily itu ke hadapanku dengan setengah memaksa.

"Apa kamu tidak takut aku akan kabur?" Kelakarku menimpali ucapan Sadewa.

"Kenapa harus takut?" Sadewa terlihat mengulas senyuman lebar "Aku akan mengadu ke putrimu jika ibunya masih berhutang bunga kepadaku. Apa kamu tidak akan malu?"

Aku tertawa lepas mendengar candaan Sadewa. Namun cepat-cepat aku menutup mulutku agar tidak terbahak.

Aku bahagia. Sungguh sangat bahagia jika ada orang yang menganggap Dede seperti anak-anak yang masih hidup. Raganya memang telah tiada namun jiwanya seakan masih hidup di hati orang-orang yang ada di sekelilingku.

Aku menuju ke makam Dede dengan menaiki bus kota. Tentu saja dengan bantuan uang yang dipinjamkan Sadewa kepadaku.

Aku mengunjungi makam Dede sebanyak dua kali dalam seminggu. Sudah menjadi rutinitas yang aku lakukan di setiap hari Rabu dan minggu sore.

Saat akan menghadapi hal besar yang akan menimpaku. Menyapa Dandeleon akan membuatku merasa sedikit lebih tenang.

Setelah acara nyekarku usai. Aku meninggalkan gerbang makam dengan hati yang sendu. Aku mencoba menarik nafas dalam. Bersiap untuk memikul beban yang lebih berat lagi yang sudah menanti di depanku.

Rasanya tadi aku ingin mengadu kepada putriku. Namun aku tidak tega. Aku hanya ingin putriku tahu jika ibunya baik-baik saja dan merasa bahagia.

Saatnya telah tiba. Diadili dan mendapatkan penghakiman. Dari kesalahan kecil yang aku perbuat karena ingin membalas perlakuan buruk Angkasa.

Ironi! Saat Angkasa yang menusukkan pisau kebadanku sampai berdarah, justru aku yang meminta maaf karena darahku mengenai kakinya.

Langkah kakiku terayun menuju podium yang telah di sediakan pihak Clover. Kilatan kamera dari ratusan wartawan bagai sorot lampu yang menjadikanku sebagai bintang utama dalam panggung ini. Kilatan marah dari para petinggi Clover. Sorot tajam dari sepasang mata para pegawai Clover yang menghujaniku. Membuatku semakin tersudut bagai tersangka utama.

Aku hanya mampu mengulas segaris senyum di balik masker yang aku kenakan. Menertawakan diriku yang ternyata terjebak dalam neraka yang aku buat sendiri. Angkasa benar. Aku tidak akan mampu melawannya. Aku tidak mampu menginjak lehernya. Justru kakiku sendiri yang patah saat aku akan menginjak leher Angkasa.

Angkasa benar. Neraka yang diciptakannya saat aku keluar dari penjara ternyata lebih mengerikan. Dia tidak hanya merenggut kebebasanku. Tapi dia membuatku terpenjara dalam pandangan buruk masyarakat umum.

Langkah kakiku berhenti tepat di podium Clover. Aku menenangkan hatiku bahwa semua akan baik-baik saja.

Namun anggota tubuhku tidak bisa diajak berbohong sebentar saja. Mereka tidak bisa diajak berkompromi. Tanganku gemetar. Peluhku bercucuran. Keberanian yang sudah aku pupuk dari semalam menguap begitu saja.

Ratusan pasang mata menatapku bagai belati yang siap untuk mengulitiku hidup-hidup.

'Kamu pasti bisa Rain' semangatku pada diriku sendiri.

'Kamu pernah melewati hal yang lebih menyakitkan dari pada ini' Hatiku mencoba memantik sedikit keberanian yang mulai tenggelam.

Aku meremas pinggiran kertas yang diberikan oleh pihak Clover. 'Dandeleon... tetap di samping mama. Dampingi mama, dan kuatkan mama' Aku memejamkan mata sejenak untuk mengumpulkan kekuatan dan keberanian.

Aku berdehem, menetralkan suara agar tidak serak dan tidak bergetar.

Bismillah....

"Selamat malam. Nama saya adalah Rainy Basheera. Saya adalah orang yang memfitnah bapak Angkasa Wiratama Admaja selaku CEO dari PT Clover"

"Pertama-tama saya ingin meminta maaf atas kegaduhan yang saya buat. Sehingga merugikan bapak Angkasa Wiratama Admaja dan juga PT Clover Indonesia"

"Saya meminta maaf karena telah melakukan tindakan tercela dan melanggar hukum untuk kepentingan dan keuntungan saya pribadi"

"Sudi kiranya bapak Angaksa dan PT Clover menerima permohonan maaf saya dan tidak melanjutkan masalah ini ke jalur hukum"

"Cukup sekian dan terima kasih saya ucapkan kepada PT Clover karena telah memberikan waktu dan ruang untuk saya bisa meluruskan masalah ini"

Aku meremas kertas yang telah aku baca lalu meninggalkannya teronggok di podium.

Aku menuruni panggung dengan wajah yang menunduk. 'Harus menunduk dan merasa bersalah' -pergi meninggalkan Clover. Itulah yang ditulis mereka di ujung akhir kertas yang aku baca.

Sorakan dari karyawan Clover menggema.

"Hu....." Suara berat itu serentak mereka ucapkan. Rasanya sanggup merobek gendang telingaku.

Lemparan telur mengenai kepalaku. Bau amis yang menguar menyapa indra penciumanku. Lendir dari telur putih serasa menempel di rambut.

Telur ke dua...

Telur ke tiga...

Ke empat....

Ke lima.... mengiringi langkahku yang kalah.

Aku melihat di kerumunan. Genta hendak melangkahkan kaki untuk membelaku. Namun aku menggeleng mengisyaratkan laki-laki itu untuk mengurungkan niatnya.

"Bunga" ucapku tanpa suara. Mengingatkan pada Genta. Aku tidak ingin anak perempuan Genta yang berusia remaja terkena imbasnya.

Masalah ini telah viral. Aku tidak mau bunga ikut-ikutan dibully jika bapak kandungnya mau melindungiku.

Lemparan telur nyatanya tidak berhenti meski aku sudah menempuh separuh jalan menuju pintu keluar.

Telur ke lima belas. Hitungku dalam hati.

Aku melihat seseorang menggenggam sekantong tepung. Lemparan tepung itu akan menjadikanku seperti badut. Karena warna putihnya akan menempel pada tubuhku yang sudah dilumuri kotoran telur.

Angkasa sungguh hebat. Dia benar-benar menjadikanku kotoran yang tidak berharga. Dia bisa menjadikan anak buahnya senjata untuk mempermalukanku sampai tidak tersisa.

Aku tak gentar meski orang yang menggenggam sekantong tepung itu sudah menghadang jalanku.

Aku memejamkan mata bersiap menerima lemparan tepung itu ke wajahku. Namun... tiba-tiba saja sepasang tangan kokoh memelukku. Melindungiku dari sekantong tepung yang telah pecah. Bungkusnya terkoyak menjadikan isi di dalamnya debu yang terbang mengelilingiku.

Kaus hitam yang ia kenakan berubah warna menjadi putih. Tepung itu memenuhi punggungnya rata tanpa celah. Sedangkan jaket yang ia tenteng dikenakan untuk menyelimuti tubuhku yang penuh kotoran.

"Sadewa...." lirihku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Dompetmu terjatuh di tokoku. Ada di mobil. Kamu bisa menggambilnya" Sadewa memelukku sambil berjalan meninggalkan sorak kerumunan yang lebih riuh daripada sebelumnya.

Aku tidak menyangka. Tuhan masih berbaik hati kepadaku. Pertolongan itu datang di waktu yang tepat dari orang yang benar-benar tidak aku sangka.

Angkasa Membenci Hujan (Masih Lengkap-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang