"Jangan terlalu percaya diri. Rainy juga tidak akan sudi kembali kepadamu, karena perbutanmu sudah membunuh putri kalian!"
Suara Sadewa seperti berdengung di telinga Angkasa. Jiwa Angkasa seperti di tarik dari raganya. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam kalimat itu. Ada sesuatu yang salah.
Angkasa seperti orang bodoh yang tidak bisa mencerna kalimat yang di ucapkan Sadewa.
"Putri?" Lirih Angkasa dengan tatapan kosong seolah ingin menyangkal kenyataan.
"Aku punya seorang putri?" Lirihnya lagi, menunduk dengan tatapan kosong ke arah lantai.
Otak Angkasa tiba-tiba saja serasa mati. Udara di sekitarnya sudah tak mampu untuk ia hirup. Paru-parunya serasa sesak. Anggota tubuhnya serasa lumpuh. Kakinya tak mampu lagi berpijak, tak mampu lagi menopang berat tubuh Angkasa. Sepuluh detik kemudian tubuh Angkasa ambruk menghantam lantai.
****
Angkasa mengerjap. Ia beberapa kali mengedipkan matanya untuk menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan mata.
"Mama... kakak sudah sadar" Angkasa menoleh ke arah Cleo yang berteriak sampai memekakkan gendang telinga.
"Apa yang terjadi kepadaku?" Tanya Angkasa kepada Cleo.
"Kakak pingsan...." Ucapan Cleo terpotong karena Hanum buru-buru datang memeriksa keadaan Angkasa.
Hanum mengambil duduk di pinggir ranjang, "Kamu ingin minum?" Tawar Hanum.
"Heem" Entah mengapa tenggorokan Angkasa terasa kering bak gurun sahara.
Angkasa bangun dari pembaringannya lalu bersandar di kepala ranjang. Ia mengambil segelas air putih dari tangan Hanum kemudian menenggaknya sampai tandas.
Angkasa menyerahkan gelas kosong itu ke Hanum. Namun beberapa detik kemudian ia baru sadar ternyata di tangannya terdapat selang infus yang menancap.
"Berapa jam aku pingsan?" Menurut Angkasa terlalu berlebihan jika ia harus mendapatkan suntikan infus jika penyebabnya hanya tidak sadarkan diri.
"Jam...?" Beo Cleo mengulang satu kata yang diucapkan Angkasa. "Kakak pingsan selama tiga hari"
"Dan kamu tahu apa yang kami hadapi selama tiga hari ini?" Cleo manyambung kalimatnya yang dijawab gelengan kepala oleh Angkasa.
"Pemegang saham Clover itu sungguh memuakkan. Mereka sudah menyewa jet pribadi untuk menerbangkan kakak ke Singapura agar mendapat fasilitas kesehatan yang lebih baik. Mama sampai harus beradu mulut untuk tetap mempertahankan kakak agar bisa dirawat di rumah" Ucap Cleo menerangkan panjang lebar.
Tiba-tiba saja otak Angkasa berputar pada kejadian yang telah lalu. Kalimat Sadewa kembali terngiang-ngiang di kepalanya.
"Rainy.." monolognya, ia harus mamastikan sesuatu kepada Rainy.
Angkasa bangun dari ranjang lalu ia mencabut selang infusnya secara paksa. Membuat Hanum dan Cleo memekik kaget.
"Astaga Angkasa! Apa yang kamu lakukan?"
"Aku harus pergi. Aku harus mencari tahu sesuatu" Angkasa masuk ke walking closset berniat mengambil jaket.
Saat Angkasa keluar dari ruangan itu, Hanum menahan langkahnya.
"Rainy ada di kamar tamu. Tante yang memintanya untuk menginap disini"
Tanpa ada jawaban dari Angkasa, ia bergegas menjejakkan langkanya menuruni tangga. Tanpa mengetuk pintu ia membuka kamar tamu yang di tempati Rainy yang ternyata tidak di kunci.
"Rain..." Rainy yang sedang duduk di sofa tunggal sambil melihat sesuatu di ponselnya beralih melihat ke arah Angkasa.
Tanpa ada jawaban dari Rainy, Angkasa melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Ia lalu duduk di tepian ranjang menghadap ke arah Rainy.
Rainy menyadari, sudah tiba waktunya ia harus mengatakan tentang Dandelion- putri mereka. Jika Rainy ingin membalaskan dendam perbuatan Angkasa yang dahulu, inilah waktu yang tepat. Angkasa akan hancur mengetahui akibat dari perbuatannya telah menghilangkan nyawa berharga putri mereka. Mengetahui ia memiliki putri saja membuat Angkasa sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari. Apalagi mengetahui putrinya tiada karena andil dari kelakuan jahatnya bisa-bisa laki-laki itu masuk rumah sakit jiwa.
Tetapi Rainy tidak setega itu. Masih ada setitik rasa untuk Angkasa yang membuatnya lemah untuk bisa menyakiti pria di depannya ini. Tapi satu yang tetap ia akan pegang teguh. Ia tidak akan pernah kembali ke dalam pelukan ayah kandung Dandelion itu.
"Rain, apa benar yang dikatakan oleh Sadewa? Apa kita memiliki seorang putri?"
"Heem" tidak perlu menunggu lama, Rainy langsung menjawab pertanyaan Angkasa. "Tapi dia sudah meninggal, tiga hari setelah aku melahirkannya"
Godam telak memukul jantung Angkasa. Rasa sakit itu menjalar merememas jantung miliknya.
Air mata Angkasa luruh. Tangisnya bahkan serasa tertahan karena ia mencoba mengisi paru-parunya dengan udara karena terasa sesak.
"Maafkan papa nak.." Angkasa bahkan jatuh terduduk di lantai, badanya serasa lemah mengetahui keberadaan putrinya yang telah tiada.
"Papamu ini sungguh jahat..." Andaikan dulu ia tidak termakan ego balas dendamnya, pasti kini ia tengah berbahagia dengan keluarga kecilnya. Bersama Rainy dan putrinya.
Tapi penyesalan memang datang terlambat. Takdir yang sudah dijalani tidak dapat ditarik mundur untuk diperbaiki kembali. Angkasa telah kehilangan segalanya. Cinta, putrinya, dan harapan untuk hidup bahagia. Kedepannya ia hanya bisa melanjutkan hidup dengan segudang rasa penyesalan.
Hati Rainy terenyuh melihat Angkasa yang begitu hancur. Pria di depannya ini sudah menjalani kehidupannya yang menyedihkan sejak kecil. Ibu yang depresi, ayah yang pergi meningalkannya, kematian kakek dan ibunya, membuat kehidupannya yang bergelimang harta ternyata tidak menjamin kebahagiaannya. Sekarang ia benar-benar hancur mengetahui kematian putri kandungnya karena buah kejahatannya.
Rainy memeluk Angkasa mencoba mengurangi beban kesedihan yang kini tengah ditanggung oleh mantan suaminya.
"Aku jahat Rain. Aku harusnya yang mati. Bukan putri kita" Angkasa beberapa kali memukul dadanya mencoba mengurangi sesak yang enggan pergi.
Setelah Angkasa cukup tenang Rainy mengurai pelukkannya.
"Aku ingin bertemu putriku. Dimana makamnya?" Tatapan sendu dari Angkasa terlihat memohon kepada Rainy untuk berbaik hati menunjukkan makam sang putri.
Rainy mengambil ponsel yang tergeletak di sofa. Ia menggulir beberapa gambar lalu setelah menemukan apa yang ia cari, ia menunjukkannya kepada Angkasa.
"Ini Dandelion" Terlihat foto bayi mungil yang sedang tertidur di inkubator. Bayi itu terlalu kecil untuk seukuran bayi pada umumnya. Tubuhnya dipenuhi kabel. Sedangkan di mulutnya terdapat selang yang menempel.
Angkasa mengusap layar ponsel milik Rainy layaknya ia sedang mengusap-usap sang putri. "Pasti dingin dan sakit" lirihnya yang masih dapat didengar oleh gendang telinga Rainy.
"Berhentilah menyalahkan dirimu. Kamu tidak tahu jika aku tengah mengandung Dede pada saat itu. Jadi itu bukan sepenuhnya kesalahanmu" pada akhirnya Rainy tidak sampai hati membiarkan Angkasa hidup berkubang dalam penyesalan. Ia memilih memaafkan agar dirinya dan Angkasa bisa hidup dengan damai tanpa bayang-bayang kesakitan yang telah lalu.
"Aku akan menemanimu ke makam Dandelion. Tapi dengan satu sayarat"
"Syarat apa Rain?" Angkasa akan memenuhi syarat apapun yang diajukan Rainy. Ia hanya ingin bertemu dengan putrinya meskipun yang ia temui nanti hanya berupa gundukan tanah.
"Tolong jangan menangis di depan makam Dandelion. Aku hanya ingin putriku tahu jika hubungan kita baik-baik saja. Meskipun ia telah tiada. Bagiku Dede masih hidup dan aku tidak mau membuat Dede bersedih"
"Aku janji Rain dan terimakasih..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Membenci Hujan (Masih Lengkap-END)
RomanceAngkasa membenci Rainy, itu kenyataannya. Ada harga yang harus dibayar Rainy karena ibunya telah menghancurkan keluarga Angkasa. Lantas apa saja yang dilakukan Angkasa kepada Rainy untuk menuntaskan dendamnya? Dan apakah Rainy akan diam saja melihat...