Angkasa menenggak minumannya dari gelas sloki. Entah ini menjadi gelas keberapa, Angkasa sendiri tidak menghitungnya.
Pandangannya mulai mengabur. Kepalanya mulai pening. Namun dia masih bisa mengendalikan mulutnya agar tidak meracau.
Angkasa lalu pergi meninggalkan bar. Dengan sedikit sempoyongan, ia berjalan menuju mobilnya yang ada di parkiran.
Mobil yang dikendarai Angkasa melaju dengan sembrono. Beberapa kali ia harus menekan pedal rem secara mendadak untuk menghindari tubrukkan dengan pengendara lainnya.
Bahkan kepalanya sempat terbentur stang kemudi mobil. Membuat dahinya berwarna merah kebiruan akibat memar.
Angkasa menghentikan mobilnya tepat di depan rumah bergaya minimalis. Pintu rumah itu tertutup rapat. Dengan lampu remang yang menyala- menempel di plafon teras.
Angkasa melihat waktu pada arloji yang melingkar di tangannya. 00.30 dini hari waktu yang kurang tepat untuk bertamu.
Namun Angkasa sudah tidak bisa menahannya lagi. Sesak di dadanya harus segera ia enyahkan. Hanya pengampunan dari Rainy yang bisa menyingkirkan rasa bersalahnya yang semakin mengepungnya.
Angkasa nekat keluar dari mobil. Berjalan sempoyongan berusaha menyeimbangkan langkahnya agar tidak tersungkur ke permukaan tanah.
Tiba di depan pintu ia mengetuk dua kali sambil memanggil nama mantan istrinya.
"Rain..." Suaranya parau. Efek dari banyaknya minuman yang diteguknya.
"Rainy...." panggilnya sekali lagi. Kali ini ketukan pintu berubah menjadi gedoran yang memekakkan telinga.
Angkasa tidak lagi mampu menahan keseimbanganya. Ia merosot ke permukaan lantai. Terduduk berelonjor dengan kaki yang menghalangi pintu keluar. Punggungnya ia sandarkan pada dinding yang bersiku dengan pintu.
Di tengah kesadaranya yang sebentar lagi terampas. Angkasa menggedor pintu itu sekali lagi.
"Rainy..." Panggil Angkasa tak sekeras sebelumnya. Suara parau itu berubah menjadi rintihan yang tertahan.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka setengah. Menampilkan sosok Rainy yang berdiri di antara muka pintu yang celahnya terbuka sebagian.
"Rain..." Kemunculan Rainy dari balik pintu membuat segaris senyum terbit dari bibir Angkasa. Meskipun belum tentu ia mendapat pengampuanan dari Rainy, tapi setidaknya ia harus mencobanya.
Tidak masalah jika Rainy menolak permintaan maafnya. Setidaknya perempuan itu tahu jika Angkasa benar-benar menyesal atas apa yang ia perbuat kepada Rainy dahulu.
Berbeda dengan Angkasa yang mengulas senyum. Rainy cukup terkejut dengan kedatangan Angkasa yang nampak berantakan. Bahkan Rainy belum pernah melihat Angkasa dengan penampilan semengenaskan ini.
"Rain..." Angkasa memeluk kaki Rainy bahkan pria itu tidak segan mencium punggung kaki milik sang mantan istri.
Rainy terkesiap, memundurkan kakinya kebelakang menghindari perlakuan Angkasa yang menurutnya di luar nalar.
Angkasa memeluk salah satu kaki Rainy untuk memaku perempuan itu agar tidak bergerak menghindarinya.
"Rain... aku minta maaf Rain. Aku salah. Aku penjahatnya. Hukum aku sepuasmu Rain. Tapi setelah itu, tolong ampuni aku. Maafkan aku..."
Rainy berusaha melepaskan belitan tangan Angkasa di kakinya, sehingga membuat laki-laki itu tersungkur di atas permukaan lantai
"Ada apa denganmu?" Tanya Rainy masih kental dengan rasa tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Membenci Hujan (Masih Lengkap-END)
Storie d'amoreAngkasa membenci Rainy, itu kenyataannya. Ada harga yang harus dibayar Rainy karena ibunya telah menghancurkan keluarga Angkasa. Lantas apa saja yang dilakukan Angkasa kepada Rainy untuk menuntaskan dendamnya? Dan apakah Rainy akan diam saja melihat...