13. Fairness and Responsibility

13 3 16
                                    

Dalam suasana persidangan yang megah, Elora memimpin dengan tegas di siang hari yang cerah. Para petinggi negara berkumpul untuk membahas penyerangan terhadap Raja yang terjadi belum lama ini.

Elora dengan cermat menyalakan rekaman suara dari ponselnya, membawa bukti berupa keterangan prajurit yang menjadi saksi mata dalam kejadian tersebut. Kehadiran prajurit di persidangan tidak memungkinkan, namun bukti audio ini dianggap cukup untuk menggambarkan kronologi peristiwa yang terjadi.

Suasana persidangan menjadi tegang saat Elora menjelaskan bukti yang dipegangnya dengan penuh keyakinan. "Ini adalah keterangan langsung dari prajurit yang menyaksikan kejadian itu. Kalian harus menghormati fakta-fakta ini," ucap Elora dengan suara tegasnya, walaupun para petinggi sedikit bingung dengan alat pipih yang dipegang Elora mampu mengeluarkan suara.

Ketegangan semakin memuncak ketika sosok yang diduga sebagai pelaku muncul di tengah persidangan. Sorotan mata semua hadirin dan petinggi negara langsung tertuju padanya. "Saya bisa jelaskan," ucapnya dengan suara yang menegaskan, siap memberikan klarifikasi terhadap tuduhan yang dialamatkan padanya.

Namun, tanggapan keras Elora langsung menyusul, "Pastikan kau tidak berbohong seperti yang selama ini kamu lakukan, dasar tidak tahu diri!" tegur Elora dengan nada tajam, mencerminkan ketidaksetujuannya terhadap perilaku sang tersangka.

Salah satu petinggi negara turut mengecam, "Hukum mati saja dia, pengkhianat!" serunya dengan nada marah, menunjukkan kecaman yang mendalam terhadap pelaku pengkhianatan.

Elora segera meredakan kemarahan di ruangan, "Diam! Biarkan dia bicara," tegur Elora dengan otoritasnya, memberikan kesempatan bagi tersangka untuk memberikan penjelasan atas perbuatannya.

***

Di perkemahan yang penuh dengan persiapan jelang perang, hari akan berganti menjadi kurang dari sehari lagi sebelum pertempuran dimulai. Latihan semakin intens, dan suasana semakin tegang menjelang pertempuran besar. Saat istirahat tiba, dini hari, kondisi perkemahan menjadi semakin sunyi.

Para prajurit yang berjaga di sekitar tenda Raja dan tenda-tenda lainnya tiba-tiba mendapati diri mereka tertutup oleh hujan debu yang misterius. Anehnya, mereka merasakan pusing yang mendalam dan akhirnya tak sadarkan diri satu per satu.

Seseorang yang mengenakan jubah hitam dan membawa busur dengan langkah tanpa suara memasuki tenda Raja. Debu putih yang begitu pekat membuat Raja dan prajurit di sekitarnya ikut menghirupnya, menyebabkan mereka batuk-batuk dan merasa sesak.

Pria berjubah hitam itu membawa segelas air minum, "Minum dulu, Yang Mulia!" tawarnya dengan ramah.

Pandangan Raja mulai kabur, dan gelasnya terguling setelah ia meminum seteguk air itu. "Portgas, kau..." ujar Raja dengan susah payah sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

"Maaf, Yang Mulia."

Seorang prajurit yang keluar dari tenda dapur terkejut melihat kondisi para prajurit yang tergeletak di tanah. Sambil membawa sebotol minuman fermentasi beras sesuai permintaan Raja, pikirannya mulai tertuju pada keamanan Raja. Namun, begitu ia masuk tanpa izin, dia menemukan Portgas di dalam.

Dengan cepat, Portgas menaburkan bubuk putih itu ke arahnya. Kemudian, agar tidak dapat memberikan kesaksian, Portgas memanahnya dengan panah yang diperolehnya saat bertemu dengan seseorang kemarin.

***

Elora merasa terkejut dan terhempas oleh gelombang emosi yang mendera. Informasi yang berhasil dikumpulkannya ternyata senada dengan pengakuan dari Portgas. "Shibal saekki-ya!!!" umpat spontan Elora tidak terima, melihat betapa kebusukan telah mengakar dalam sosok yang selama ini dipercayai oleh Raja.

DIVE INTO THE LETTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang