24. Yourself is in Me

8 2 5
                                    

Elora duduk termenung di dalam bus, mata menatap jendela namun pikirannya sepertinya berkelana ke dunia yang lebih rumit. Ia sejenak mengabaikan jadwal latihannya hari ini, keputusan yang tidak lazim baginya. Pilihan untuk pulang tampaknya lebih menarik daripada melanjutkan rutinitas harian.

Dengan langkah lemah, Elora memasuki kamarnya. Kasurnya yang lembut seakan menjadi saksi bisu dari kegalauan yang tengah ia rasakan. Dengan perasaan yang berkecamuk, ia merogoh buku biru dari dalam tasnya, menatap setiap halaman yang penuh dengan tulisan dan kisah petualangannya.

"Jadi, kalo semua POV selesai dan Mama Annora ikut kembali tapi gak bisa karena tubuhnya gak ada, berarti-" Elora menggigit bibirnya, kesulitan menelan air liurnya mengingat kenyataan yang ada.

Tiba-tiba, air mata Elora meluncur tanpa bisa ia tahan lagi. "Berarti-"

"Nix, juga." Elora mencoba menarik napas dalam-dalam.

"Udah gak ada?"

Tangisnya yang tiba-tiba memenuhi ruangan, mencerminkan kepedihan yang mendalam. Setiap bait tulisan petualangannya bersama Nix di dalam buku biru itu terasa seperti sebuah kenangan yang menghantuinya. 

Elora, yang selama ini terbiasa dengan dunia imajinasi, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa sahabatnya tidak hanya hilang dari buku, tetapi sudah benar-benar lenyap dari semesta ini.

***

Sejak kembali dari rumah Annora, Elora menjalani seharian ini dengan ketenangan yang seperti tercipta untuknya sendiri. Kamar yang sebelumnya penuh warna kini terasa hampa. Ia meratapi kehilangan yang mendalam, melalui hari-hari yang diisi dengan diam, tidur, dan lamunannya yang mendalam. Elora mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menyejukkan hatinya, dan perlahan-lahan berusaha menerima kenyataan pahit bahwa ia harus kehilangan teman sejatinya.

Berusaha kembali kepada realitas, Elora meresapi kenyataan bahwa yang hilang bukanlah sosok sahabatnya, melainkan hanya seorang atlet pemanah terkenal di dunia nyata.

Ponselnya bergetar dan berdering berulang kali, namun Elora tak memberikan respon apapun. Ia memilih untuk membereskan buku-buku cerita fiksi yang selama ini menjadi hobinya. Semua buku Elora ia letakkan dalam sebuah kardus kosong, hanya menyisakan satu buku biru usang sebagai saksi bisu dari petualangan dan kehilangannya.

Membawa buku usang itu ke meja belajarnya, Elora meraih sebatang spidol. Ia memberikan judul pada buku itu, "Heavy Destiny" tulisnya.

Sore yang cerah menyingsing, Elora memuat sekardus buku itu ke dalam mobilnya. Dengan tekad yang mantap, ia meluncur menuju Gedung Gemar Membaca, perpustakaan dengan program baca gratis yang cukup memakan waktu dari rumahnya namun tak jauh dari gedung sekolahnya.

"Saya mau menyumbangkan buku-buku ini," ujarnya kepada petugas perpustakaan.

Petugas dengan ramahnya mengiyakan permintaan Elora dan mengantarkannya ke tempat penyimpanan buku. "Apakah nama penyumbang perlu ditulis, Kak?" tanya petugas.

"Tidak perlu," tolak Elora dengan lembut, menolak untuk memberikan nama atau mengharapkan apresiasi atas tindakannya.

Petugas mengangguk mengerti, dan Elora pun merasa lega setelah menyelesaikan tugasnya. Selesai menyumbangkan buku-buku fiksi yang sebelumnya menjadi hobinya, Elora merasa sedikit trauma akan dunia imajinatif yang terlalu dalam. 

Ia memutuskan untuk mengurangi kecenderungannya membaca cerita fiktif berlebihan, hanya akan menyisakan waktu untuk menikmati kisah semacam itu sesekali saat diperlukan.

***

"Comefood!" teriak seseorang dari luar gerbang rumah Elora, menggema hingga ke dalam ruangan tempat Elora bermain catur dengan sang ayah. Dengan antusias, Elora meninggalkan permainan caturnya, meninggalkan ayahnya yang tengah asyik melajukan giliran.

DIVE INTO THE LETTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang