16. Master Archer

13 2 4
                                    


Berada di lapangan latihan yang dipenuhi dengan para atlet panahan yang bersemangat, Nix mengangkat panahnya dengan penuh konsentrasi. Matanya fokus mencari sudut terbaik untuk melepaskan anak panah, dan tangan kanannya menarik pegas panah dengan mantap.

Jeb!

Anak panahnya mendarat di area kuning, namun belum di titik tengahnya. Tanpa ekspresi kecewa, Nix segera mengambil anak panahnya lagi dan mempersiapkan diri untuk mencoba sekali lagi. Ia merasa perlu memperbaiki tekniknya agar dapat mencapai hasil yang lebih baik.

Dengan tekad yang kuat, Nix mengulang prosesnya, melepaskan anak panah dengan presisi dan mengamati dengan seksama lintasan anak panahnya. Ia terus melatih dirinya sendiri, melewati berulang-ulang percobaan hingga akhirnya mencapai hasil yang memuaskan.

Saat waktu istirahat tiba, Nix memilih untuk membereskan alat-alat panahnya dengan teliti. Di tengah hiruk-pikuk atlet-atlet yang bersiap-siap untuk istirahat, seorang teman sejawat mendekati Nix. "Mau kemana buru-buru? Lusa ada event panahan tingkat nasional, kan? Katanya, kamu mau masuk federasi panahan, tapi aku dengar kamu malas latihan." ujar pemuda itu dengan rasa ingin tahu.

Nix hanya tersenyum dan menjawab, "Gue cuma butuh istirahat sebentar, bukan berarti gue nyerah." ucapnya sambil menepuk lembut pundak temannya sebagai tanda pamitan. Meskipun tubuhnya lelah, semangat dalam dirinya masih berkobar, siap untuk menghadapi tantangan dan mencapai prestasinya di tingkat nasional.

***

Mobil Nix meluncur dengan kecepatan stabil menyusuri hiruk-pikuk jalan raya Jakarta yang ramai. Waktu istirahatnya dihabiskan dengan mengunjungi salah satu tempat yang paling dicintainya: tempat makan favoritnya. Nix terlihat begitu bersemangat, senyum cerianya tak bisa disembunyikan, terlihat jelas di wajahnya yang penuh antusiasme.

Tetapi di tengah perjalanan yang menyenangkan itu, pandangan matanya tertuju ke sebelah kiri jalanan. Kakek tua dengan gerobak tampak asik memungut beberapa botol di tong sampah umum, kemudian meletakkannya dengan hati-hati di dalam karung yang ada di gerobaknya.

Mobil Nix berhenti, dan dengan gesit, ia mengenakan topinya dan keluar dari mobil yang diparkir di tepi jalan yang relatif sepi. Langkahnya mantap menghampiri kakek tua itu, "Kek," sapanya dengan penuh hormat.

Kakek tua itu menoleh, dan senyum lembut terukir di wajahnya. "Iya nak, ada apa?"

"Kakek sudah makan?" tanya Nix tiba-tiba, terlihat keprihatinan di matanya.

Kakek itu hanya diam, menggeleng sambil tetap tersenyum tulus, meskipun kelelahan terpancar dari wajahnya. "Kalau begitu, ikut saya yuk kek, ke seberang sana. Saya juga mau makan siang di-" namun, ponsel Nix berbunyi memotong ucapannya.

"Woy, cepat balik! Pelatih udah datang, mau liat progres lo. Buruan balik!" terdengar suara dari ponsel, memperingatkan Nix tentang kedatangan pelatihnya.

"Duh, iya!"

Nix segera mematikan ponselnya, "Eum, maaf kek, sepertinya saya harus kembali. Tapi kakek bisa beli makan sendiri, kan? Saya ada rezeki untuk kakek, semoga cukup," kata Nix sambil memberikan sejumlah uang, lima lembar seratus ribu rupiah.

Kakek itu terharu, berterima kasih berulang kali, "Nak, semoga niat dan usahamu tercapai. Terima kasih banyak," ucap kakek dengan suara penuh doa.

"Sebagai ucapan terima kasih, kakek, tolong terima ini," kata kakek sambil memberikan satu dari tiga buku berwarna biru yang tampak cukup usang.

"Tidak perlu, kek, sungguh tidak perlu," tolak Nix, namun kakek bersikeras. "Baiklah, terima kasih ya, kek. Saya pamit dulu. Semoga kakek tetap sehat," ujar Nix yang dijawab dengan anggukan dan senyum sembari menerima pemberiaan kakekk. 

DIVE INTO THE LETTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang