22. Legacy

8 2 4
                                    

Elora terkejut saat melihat gadis yang berdiri di samping kakek itu. "Anna?" gumam Elora, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Gadis itu, dengan senyum lebar, benar-benar mirip dengan sahabatnya di dunia fiksi.

"Karina!" seru gadis itu dengan sukacita, lalu berlari memeluk Elora. Elora merasa terdiam, tak percaya bahwa sahabatnya muncul di dunia nyata.

Mereka berdua memasuki rumah, Elora masih terpesona dan sulit percaya dengan kenyataan yang ada di depan matanya. "Is that you?" tanya Elora, mencoba memproses informasi yang baru saja ia dapatkan.

Gadis itu tersenyum lembut, mengulurkan tangannya, "Aku Annora." Katanya memperkenalkan identitas aslinya.

Elora menjawab dengan menggenggam jabatan tangan Annora, "Elora." Sahutnya dengan kebingungan.

"Terima kasih, jika bukan karena kamu, mungkin selamanya aku tidak bisa bertemu Ayahku." Ucap Annora sambil mencakup tangan Elora dengan penuh rasa terima kasih.

Elora memandang pria tua itu dengan tatapan penuh tanya, "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanyanya sambil mengeluarkan buku biru usang dari dalam tasnya.

"Semua bermula dari buku yang ditinggalkan ibuku dulu. Awalnya, kami mengira bahwa Ibu telah meninggal, tapi ternyata ia juga terperangkap dalam buku. Jasadnya sudah dikubur, jadi Ibuku tidak bisa kembali," jelas Annora, mengenang kejadian tersebut.

"Ibumu juga ada di sana?" tanya Elora, masih sulit mempercayai apa yang ia dengar.

Annora mengangguk serius, "Iya, dia adalah Ratu Briseis, istri kedua Raja Orion dalam cerita itu." Jawabnya dengan tegas.

"What?" gumam Elora, masih berusaha mencerna semua informasi yang baru saja ia terima.

***

Bani, yang kini menjabat sebagai kepala cabang sebuah bank nasional, memulai kisahnya dengan sebuah pertemuan yang tak terduga. Di tengah guyuran hujan, dia bertemu dengan seorang wanita yang mampu memikat hatinya. Keduanya berlindung di bawah atap halte dekat sebuah kampus ternama, dan dari sana, kisah cinta pun mulai tumbuh.

Saling mengenal lebih dalam, Bani dan wanita yang bernama Dalia itu memutuskan untuk menikah. Namun, keputusan mereka untuk menunda kehadiran anak hingga Dalia berhasil meraih gelar dalam bidang arkeologi menjadi salah satu bab baru dalam perjalanan hidup mereka. Sepuluh tahun telah berlalu sejak ikatan pernikahan mereka, namun keberuntungan untuk memiliki momongan masih belum menyapa.

Pada usia 29 tahun, Dalia masih setia dengan passion-nya terhadap penelitian arkeologi, khususnya berkaitan dengan peninggalan sejarah di daerah Bandung. Bersama dengan tim arkeolognya, Dalia memasuki sebuah hutan yang diyakini menyimpan rahasia masa lalu. Mereka dengan tekun menggali berbagai spot yang diharapkan mengungkap prasasti atau penemuan bersejarah lainnya.

Di dekat sebuah batu yang terlihat begitu kuno, Dalia mengekskavasi tanah perlahan-lahan. Kegigihan dan ketekunan membawanya menemukan sesuatu yang mengejutkan, sebuah kotak tua terkubur di bawah tanah. Tanpa ragu, Dalia memutuskan untuk membuka kotak tersebut, meskipun berada di posisi yang cukup jauh dari timnya.

Dengan hati-hati, dia membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa lembar kertas di dalamnya. "Kok gak ada tulisannya," gumamnya sambil memilah-milah kertas antik yang ada di tangannya. Lima lembar kertas dipilihnya untuk dibawa pulang, sedangkan kotak itu dibiarkan begitu saja di tempatnya.

Setelah berjalan cukup jauh, Dalia akhirnya menemui rekan-rekannya. "Aku nemuin ini tadi," ujarnya sambil menyerahkan lembaran kertas tersebut kepada salah satu anggota tim.

"Dapat dari mana?" tanya salah satu rekan yang menerima kertas itu dengan rasa ingin tahu.

"Di sana tadi agak jauh, cuma kertas daluang ini, gak ada tulisannya," jelas Dalia, menyiratkan kebingungannya.

"Coba aku cek di sana," usul salah satu rekan, namun Dalia memilih untuk menahan mereka. "Gak perlu, udah aku cek itu semua udah aku bawa," ujarnya dengan mantap, memutuskan untuk menyusul nanti setelah merenung lebih dalam pada penemuan misteriusnya.

Setelah rekan-rekannya meninggalkan lokasi penemuan, Dalia merasa terpanggil untuk kembali mendekati kotak misterius yang menjadi penemuan menariknya. Lima lembar kertas yang telah dibawanya sebelumnya terasa seperti hanya setetes air di samudra, karena kini ia menyadari bahwa dalam kotak tersebut masih tersimpan ratusan lembar kertas daluang.

Dengan penuh keingintahuan, Dalia kembali membuka kotak tua itu. Dengan hati-hati, ia mengambil semua kertas dari dalam kotak dan kemudian dengan penuh rasa hormat mengubur kembali kotak kuno itu.

Setelah menyelesaikan eksplorasinya di hutan, Dalia memutuskan untuk pulang. Di pintu rumah, Bani, suaminya, dengan penuh kasih menyambut kedatangannya. Mereka saling berpelukan, saling bertukar cerita tentang hari mereka, dan tentu saja, Dalia tidak ketinggalan menunjukkan kertas-kertas antik yang baru saja ditemuinya.

"Antik ini, kalo dijual pasti mahal," komentar Bani sambil terkekeh, mengekspresikan ketertarikannya pada temuan istrinya.

"Nemu dimana?" tanya Bani, mencurahkan rasa ingin tahunya pada asal-usul temuan tersebut.

"Di hutan daerah Bandung, ada di dalam kotak terkubur cukup dalam. Sebenernya, lima lembarnya aku kasih ke tim buat diteliti, dan sisanya aku bawa." Jelas Dalia sembari menikmati hidangan di meja makan.

"Emang boleh?" Bani bertanya, memberikan reaksi khasnya yang penuh humor.

"Boleh, kan mereka gak tau," jawab Dalia sambil terkekeh.

"Kebiasaan!" sahut Bani tergelak, atas sikap ceria dan pemberani dalam mengejar rasa ingin tahunya, bahkan jika itu melibatkan sedikit kecurangan yang tak berbahaya.

Setelah berbincang ringan, Dalia melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, tempat di mana ia menyalurkan hobi menulisnya untuk beristirahat dari rutinitas pekerjaan yang padat.

Dengan langkah pasti, Dalia memutuskan untuk menuliskan ide-ide segar dalam kertas daluang yang telah dijilidnya sebelumnya. Ia memiliki 200 lembar kertas sebagai medium bagi kreativitasnya, ia memutuskan untuk membagi mereka menjadi empat buku dengan masing-masing buku memiliki isi sebanyak 50 halaman.

Di meja kerjanya, Dalia duduk dan merenung sejenak. "Yang pertama, alur mundur, enaknya judulnya apa ya?" gumamnya sambil memutar otak. "Nanti aja deh, kalo udah kelar ceritanya," lanjutnya sambil tersenyum lalu mulai menulis.

Berbulan-bulan berlalu, dan Dalia konsisten menulis di waktu luangnya. Keempat buku yang ia rencanakan mulai terbentuk, meskipun masih terdapat beberapa halaman yang kosong karena ia masih merancang bagaimana mengakhiri cerita setiap buku.

Dalam dunianya yang diciptakan, Dalia mengisahkan kisah berlatarkan abad pertengahan, dengan sentuhan elemen negara Greece yang ia idolakan dari sejarah Yunani. Setiap karakter dalam empat bukunya memiliki sudut pandangnya sendiri, menciptakan keterkaitan yang rumit.

Dalia duduk di depan meja kerjanya, memandangi buku pertama dengan alur mundur yang telah selesai lebih dulu. Ia masih menyisakan sepuluh halaman awal dan lima halaman akhir yang belum terisi dengan kata-kata. 

"Sepuluh halaman pertama ini buat akhir cerita ketiga buku ini, lima halaman terakhir buat klimaks, gimana ya?" tanyanya pada dirinya sendiri, sesekali melirik ke arah ketiga buku lain yang masih dalam tahap pembuatan.

Dalia mengambil spidol, merasa semakin akrab dengan karya-karyanya. Ia berniat menuliskan judul untuk buku yang belum tuntas itu. "The Guardian Queen," tulis Dalia, senyum puas terpancar meski tak sepenuhnya. 

Ia merasa seakan memberikan hidup pada dunia imajinatifnya, sebuah pencapaian yang tak ternilai bagi penggemar sejarah dan penulisannya sendiri.

Beberapa waktu berlalu, Dalia, yang kini berusia 30 tahun, dan Bani yang menginjak usia 40 tahun, merayakan momen kebahagiaan dalam keluarga kecil mereka. Terlengkaplah keluarga itu dengan kehadiran malaikat kecil yang telah mempercantik hari-hari mereka, sang putri pertama.

Dalam momen yang penuh haru dan kebahagiaan, Dalia merenung pada karakter yang telah diciptakannya dalam imajinasinya. Sebuah karakter yang baik, bijak, dan setia, mencerminkan segala keindahan dan keutamaan. Di antara jalinan kata-kata yang ia susun, Dalia memutuskan untuk memberikan identitas pada putri kecilnya yang baru lahir.

"Annora," gumam Dalia dengan penuh kasih sayang, nama itu meluncur lembut dari bibir Dalia, sebuah pemberian tak hanya sebagai panggilan, tetapi juga sebagai harapan dan doa untuk masa depan putri kecilnya.

Bersambung...

DIVE INTO THE LETTERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang