BAB 4: FRASE IN DIE

36 7 0
                                    

Selamat membaca.

Sejak tewasnya Lisa, kami belum menemukan bukti lain mengenai campur tangan pihak ketiga, di balik kematian si Mata merah dan Lisa. Apalagi kami belum mendengar kabar tentang Laskar sejak hari itu.

"Apakah Laskar benar-benar di culik?" tanya Cliv saat aku tengah menyantap sepiring nasi gulai.

"Entahlah." balasku.

"Dialah satu-satunya petunjuk kita, dan sudah seminggu sejak kejadian itu. Namun dia tak kunjung memberi kabar."

"Lalu jika dia dalam masalah aku harus bagaimana? Aku yakin dia baik-baik saja.  Lagipula jika aku mencarinya, sama saja aku patuh pada benang yang di kendalikan si dalang atau kita sebut saja Si pembunuh!"

"Kau benar. Tapi aku benar-benar penasaran, bagaimana kau bisa tahu jika si Mata merah bukan dalang yang sebenar?"

"Cliv. Si Mata merah adalah bidak si pembunuh sebenarnya, mengapa aku bisa menyimpulkan hal tersebut? Karena si Mata merah menyembunyikan identitasnya, dan dia lebih suka di juluki si Mata merah atau apapun itu. Dia juga membatasi komunikasi kepada orang lain. Juga dia tak membenahi siapapun melihat isi komputernya. Karena apa? Isi komputer tersebut mungkin adalah daftar orang dari pembunuhan yang telah ia lakukan" Cliv tersedak, dan melotot padaku.

"Pembunuhan? Dari mana kau tahu sejauh itu! Jika hanya hipotesis, mana mungkin sampai mengetahui si Mata merah menyimpan daftar pembunuhan? Apakah dia memang membunuh para siswa saat itu?"

"Ya, kemungkinannya begitu. Darimana aku mengetahuinya? Itu karena korban yang mengetahui isi komputer tersebut langsung menghilang setelahnya, dan di temukan tiada. Jelas sekali isi komputer itu sangat penting, karena menghubungkan si Mata merah dan si pembunuh sebenar."

"Paham. Tapi mengapa si pembunuh itu menargetkan para siswa yang berhubungan dengan Laskar?" tanya Cliv.

"Cliv. kau benar-benar pandai mengoreksi."

Selepas sekolah aku dan Cliv memutuskan untuk mendiskusikan hal ini di rumahku. Cliv selalu berantusias jika berkunjung, entah kenapa sepertinya dia begitu menyukai rumahku. Kami mampir ke kedai kue untuk membeli Croisant titipan ibuku. Kami pulang agak petang karena kedai roti sedang antri panjang. Di sela-sela jalanan ramai, aku mendengar sayup lantunan sebuah harmoni.

Aku memandang sekeliling, mencari siapa yang memutar harmoni tersebut. Pandanganku teralih pada salah satu kamar gedung yang kami lewati. Terlihat sebuah siluet di balik tirai kamar tersebut tengah menari. Walau terdengar seperti harmoni kuno, tetapi bagiku itu adalah musik indah. Mengingatkanku dengan masa kecilku.
Cliv menyadari aku tengah mengamati. Dia mulai mengikuti memandang kamar tersebut.
Aku dan Cliv melihat jelas detik-detik seseorang yang tengah menari di balik tirai itu melayangkan sebuah benda tajam ke arah lehernya. Lalu ia terjatuh perlahan, nampak jelas percikan cat merah mengenai tirai yang bergelantung itu.

Kami segera memberi tahu petugas apa yang kami lihat. Lantas kami menuju ruangan tersebut yang terkunci dari dalam. Namun aku masih dapat mendengar Lantunan harmoni itu. Tanpa berpikir panjang, petugas segera mendobrak pintu tersebut.
Seorang gadis tersungkur di lantai dengan sebuah pena yang tertancap pada lehernya, gadis itu melakukan tindak bunuh diri. Ambulans dan polisi pun tiba, gadis itu meninggal di tempat akibat pendarahan.
Aku dan Cliv sempat di giring untuk investigasi. Setelah kami menceritakan apa yang kami lihat, kami pun di bebaskan, kami pulang ketika malam telah tibal.

***

"Sa! cuci bajumu dahulu sebelum tidur."

"Aku akan mencuci besok saja bu."

Louis Reunion [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang