5. Mall

39 7 3
                                    

"Setiap jatuhku, aku akan selalu berusaha untuk bangkit. Meski sendiri, namun aku tahu bahwa masih banyak orang yang menyayangiku, dan berharap aku hidup diwaktu yang lebih lama."
-Rachelia Michella




...



"BUTA SUDAH MATA KAMU, LIA?!! INI SUDAH HAMPIR DUA JAM SEJAK JAM PULANG SEKOLAH, KENAPA KAMU BARU SAMPAI DIRUMAH HAH?!!!" tanya seorang pria paruh baya.

Ia adalah Erick Fernando, Papa dari seorang gadis malang yang kini terduduk di lantai karena tak kuasa menahan kuatnya tamparan sang Papa.

...

"SUDAH BERAPA KALI SAYA KATAKAN?!! JANGAN PERNAH KAMU PULANG LEBIH DARI SEJAM SESUDAH JADWAL PULANG SEKOLAH!!!"
Seakan tidak akan pernah kering tenggorokannya, Erick masih terus membentak-bentak anak bungsu nya itu.

"Hikss maafin Rachel, Paa. Rachel janji ini yang terakhir." dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti, bagaikan hujan di Tutendo, Kolombia, Amerika Selatan. Gadis malang itu masih memohon ampun dari sang Papa.

Bugh ...

Lagi, Erick kembali melayangkan tangannya yang kekar ke wajah mulus Rachelia.

Tiss...

Setetes darah yang yang dapat menyumbangkan ke orang lain namun tidak bisa menerima pemberian dari orang lain, metes ke lantai keramik berwarna putih. Bercampurkan setetes air yang mengandung kandungan garam, benda cair berwarna merah berbau besi itu kini menetes dan mewarnai lantai yang semula putih menjadi merah. Darah itu berasal dari sudut bibir Rachelia yang pecah.

Perih, rasanya sangat perih. Apalagi ketika air matanya mengalir mengenai luka itu. Namun meski rasanya sangat perih, tapi tetap saja tidak bisa mengimbangi rasa perih di hatinya.

"Lantang sekali mulutmu mengucapkan janji. Saya sangat muak melihat kamu yang tidak bisa diatur. Pergi!" usir Erick menunjuk kearah lantai atas sebagai kode agar Rachelia segera masuk kamar.

Dengan sekuat tenaga, Rachelia berusaha bangkit.

"Jatuh lagi ya? Sakit lagi ya? Sabar ya!" batin Rachelia, berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Dengan langkah lungkai, perlahan ia menaiki tangga yang dibuat dengan sempurna sesuai rumus pythagoras. Air mata masih terus mengalir melewati sudut kiri bibir Rachelia. Sambil merintih kesakitan, akhirnya Rachelia sampai di depan kamarnya.

Clek

Sebuah pintu berwarna coklat terbuka, memperlihatkan seorang cowok yang mengenakan celana pendek dan baju kaos oblong berwarna hitam.

"Ngapain lagi lo?" tanya cowok itu.

Chamry Triano, anak sulung di keluarga itu. Berumur 21 tahun, seorang atlet basket dan kapten basket itu sendiri adalah dia. Chamry menempuh pendidikan sebagai mahasiswa hanya sampai saat masih berumur 18-20 tahun. Sejak setahun lalu, ia memilih fokus pada karir nya sebagai seorang atlet.
Meski diluar sana ia memiliki sifat dingin dan sikap yang tidak perduli dengan keadaan sekitar, namun hal itu tidak berlaku saat dirumah. Ia sangat perduli dengan keadaan keluarganya, tentu saja Rachelia masuk kategori kecuali.
Meski selalu memperhatikan apa yang Papa dan Mamanya lakukan kepada Rachelia, ia masih enggan untuk peduli kepada gadis malang tersebut.

"Aku telat pulang, Kak." lirih Rachelia.

Rasanya ia ingin sekali mendapatkan pelukan dari sang kakak lelaki, yang bila dicerita kehidupan orang lain, seorang kakak lelaki akan selalu menjadi pelindung bagi ibu dan saudari-saudarinya, terlebih lagi bila ia adalah seorang anak sulung. Seperti Chamry. Namun sayangnya hal membahagiakan tersebut hanya terjadi di cerita orang lain, dan Rachelia tidaklah termasuk orang-orang beruntung itu.

RETISALYA [RACHELIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang