Chap. 11 - Menyerah

550 13 3
                                    

Di atas kursi hitam khas kantor itu Inggit duduk dengan pandangan lurus pada hiruk-pikuk lalu lintas yang terpampang di luar kaca jendela gedungnya. Inggit hanyut dalam pikirannya sendiri tanpa menghiraukan beberapa kertas didepannya itu, ia teringat perkataan Vela tadi pagi.

"Gila! Lo mau hamil?"

Kalimat itu berputar-putar di kepalanya. Ya, dirinya sudah gila memang semenjak ditinggal Arthur. Sampai sebodoh itu dirinya menyerahkan harga diri untuk pertama kali pada pria yang jauh dari kriterianya ini. Entah apa yang merasukinya.

Pikirannya dihantui oleh perkiraan-perkiraan buruk yang akan terjadi. Bagaimana jika memang benar?
Sampai kapanpun tidak akan sudi ia memiliki anak dari seorang pria culun itu. Amit-amit.

Benda pipih dimeja itu berbunyi, lock screen menampilkan pesan dari kontak yang selalu mengirim pesan setiap hari, biasanya jam segini menanyakan kepulangan kerja padahal Inggit tak pernah minat untuk meladeni. Jemari lentik yang dihiasi kuteks merah di setiap kukunya itu menekan tombol blokir di nomor yang baru muncul, ya, nomor Alsan.



****








Lampu rumah redup. Larut malam ini Inggit kembali memijakkan kaki di rumah yang telah ia tinggali sebulan bersama ustadz culun itu. Ia kembali disini karena ingin mengatakan sesuatu yang sudah ia pikirkan sedari tadi.

Baru saja membuka mobil, pria itu sudah membukakan pintu rumah.

"Duduk Inggit, kamu terlihat kacau,"
Alsan memaksanya dengan mengantarkan untuk duduk di meja makan. Inggit hanya menurut.

"Tunggu dulu, saya panaskan makanan sebentar."
Pria itu menuju kitchen set dan berkutat dengan isinya. Alsan berbuat seperti tak pernah terjadi apa-apa pada mereka, tak tahukah pria ini jika dirinya jadi kacau seperti ini karena kejadian malam itu.

Melihat tubuh jangkung dengan punggung lebar itu, Inggit tak habis pikir bisa menikah dengan pria asing dan dianggap istri oleh orang sepertinya. Bahkan dari segi manapun, baik fisik ataupun pribadi, jauh berbeda dengan tipe nya-Arthur yang mampu membuatnya nyaman karena aura ketegasan namun membuatnya merasa terlindungi, fisik yang oke dengan rambut lurus, mata tajam, hidung mancung, rahang tegas, tipe laki-laki sempurna secara fisik dimata Inggit.

Beda jauh dengan pria yang memunggunginya kini, rambutnya ikal, berkacamata, suka pakai baju kayak mau pergi ke kondangan, gak ada menarik-menariknya, sama sekali Inggit tak ingin melirik. Bisa-bisanya dirinya telah menyerahkan mahkota yang ia jaga untuk pria seperti ini. Inggit bergelut dengan pikirannya sendiri.

Kepala Inggit pening, darahnya semakin mendidih saja melihat pria itu.

"KENAPA GUE HARUS NIKAH SAMA LO!? GUE JIJIK! BAHKAN LO BEDA JAUH SAMA KEINGINAN GUE," teriak Inggit dengan lantang, seperti bom yang tiba-tiba meledak.
Wajah Inggit kini memerah dengan nafas memburu menatap Alsan nyalang.

Inggit bangkit dari meja makan menghampiri Alsan yang masih berdiri  terkejut, telapak tangannya sampai memutih mencengkram kerah baju Alsan.  Dengan kompor yang masih menyala, dada pria itu didorong hingga tubuhnya terpojok menempel pada kitchen set tanpa memberikan perlawanan.

"Gue benci sama lo, gue jijik!!!" Ucapnya dengan nada tinggi penuh penekanan tepat di depan wajah Alsan. Alsan tak hentinya mengucapkan istighfar dalam hati.

"Gue benciii!!!" Jeritnya lagi dengan bulir bening yang sudah memanas keluar dari mata merahnya. Deru nafas Inggit begitu memburu.

Alsan tersentak namun tak urung ia hanya bisa menerima segala perlakuan Inggit.

"Maafkan saya Inggit," saat ini hanya itu yang bisa meluncur dari mulut Alsan.

"Gue disini mau bilang kalo gue akan ceraiin lo." Inggit melepas cengkeramannya dengan kasar, ia melenggang pergi meninggalkan dapur.

Alsan mematikan kompor dengan tangan gemetar.
Diluar terdengar deruman mobil meninggalkan area rumah.

Pria ini kini tumbang juga. Kakinya luruh, tubuhnya merosot menyentuh lantai dengan tangan bertumpu pada kedua kakinya yang ditekuk.

"Maafkan saya Inggit, maafkan saya," ucap Alsan lirih seorang diri.

Kepala itu tenggelam pada kedua tangannya ia tak mampu menahan air matanya yang lolos mengalir.

Ya, dirinya juga manusia, ia juga punya rasa lelah.  Memang ia yang salah, menerima tawaran pernikahan tanpa melihat Inggit. Pernikahan yang belum seumur jagung apakah akan berakhir seperti ini? Ibu, maafkan Alsan. Baru saja ia melihat ibunya senang, setelah ini apakah ada sorot bahagia itu lagi?

Menjalani sebuah rumah tangga yang hanya diharapkan satu belah pihak memang akan terasa pincang. Padahal tujuan pernikahan ada agar  manusia saling berpasang-pasangan untuk saling berjuang di dunia demi menggapai ridha Allah, sehingga termasuk ibadah terpanjang.

Kenapa Inggit begitu dingin dan keras? Tak bisakah Alsan mencairkannya? Ya Allah, harus apa lagi yang ia lakukan. Apalah daya jika memang Inggit tak bahagia bersamanya. Apa ia harus menyerah? Cerai adalah jalan yang Engkau benci, dari awal ia tak ingin melakukannya. Tunjukkanlah pertolonganMu Ya Rabb.

Alsan terus beristighfar menguatkan hatinya. Ia harus lebih sabar dengan ujian ini, itu artinya ia harus lebih kuat lagi.

Alsan mengusap sisa-sisa air mata, ia bangkit mengambil wudhu, menghamparkan sajadah untuk melaksanakan sholat. Hanya kembali kepada Allah, menyerahkan segala urusan kepada-Nya lah hati menjadi tenang.

***



Pelipis itu masih setia menempel di atas hamparan sajadah. Harapannya tak pernah berhenti untuk kebaikan mereka. Bisa jadi ini bagian dari balasan atas dosa-dosanya selama ini.

Sehabis itu ia melanjutkan membaca mushaf.

Beberapa detik entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal hatinya, ia kepikiran dengan Inggit. Alsan menyudahi kegiatannya dan memilih membuka ponsel, melacak keberadaan Inggit.

Ia hanya tak tenang jika Inggit mampir di tempat haram itu lagi, walau bagaimanapun Inggit masih tanggung jawabnya.

Ia melepas peci dan baju koko diganti dengan jaket kulit dan helm. Malam itu Alsan menaiki sepeda motor agar lebih mudah untuk membuntuti mobil Inggit melewat jalan pintas.

Ya, beberapa hari yang lalu dengan berbagai alasan yang digunakan untuk membujuk orang tuanya Inggit meminta mobilnya untuk dikirimkan kembali.

Sepanjang perjalanan untuk mencari Inggit, tak hentinya Alsan merapalkan doa.

*****



To be continue..

VOTE KOMEN GUYSS

Udah beberapa chapter masa belum vote sih :v

Terimakasih banyak buat kalian semuaaa yang mau baca ini cerita,,🌹

Vote dulu ya sebelum scrolling^^

Married with Pak Ustad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang