Chap. 10 - Cemburu?

700 12 2
                                    

Bijaklah dalam membaca.
Ambil hikmahnya, buang yang buruk.
.
.
.



Alsan tengah duduk di kursi ruang kerja menghadap setumpuk berkas-berkas yang harus ia rampungkan hari ini juga, ia harus extra fokus untuk menyelesaikannya atau dalam bahasa sekarang 'ngebut karena dikejar deadline.'

Entah mengapa saat berjalan, kaki Inggit berbelok menuju ruang kerja, tepat Alsan berada disana. Dengan memasang tatapan sinis, ia berdiri tepat di samping meja Alsan yang sedang berkutat dengan beberapa dokumen, ia tak heran akhir-akhir ini dengan Inggit yang tiba-tiba muncul didekatnya.

Kedua tangan wanita dengan mini dress hijau yang pas ditubuhnya itu bersidekap seolah siap mengintrogasi.

"Apa hubungan lo sama Raisa?" Tanya Inggit to the point, ciri khasnya. Ia tak suka basa basi.

Dibalik kacamata itu bola mata Alsan melirik ke samping penuh tanya. Ia masih tak fokus dengan pertanyaan Inggit.

"Raisa. Gausah sok gak tau!" ulang wanita itu.

Alsan mencerna perkataan Inggit, matanya melebar, ia baru mengingat nama itu.

Alsan menghentikan pergerakannya dan menatap Inggit sejenak untuk menjawab.
"Beliau wali salah satu santri di pondok."

Setelahnya Alsan kembali melanjutkan pekerjaannya membaca dokumen. Alsan sedikit heran Inggit menanyakan sesuatu padanya, tak biasanya Inggit mengajak bicara duluan apalagi perihal yang menyangkut tentang dirinya atau pekerjaan.

"Beliau?" Tanya Inggit mengulang kata Alsan dengan nada mengejek.

Alsan bingung, Apa salahnya menghormati orang tua muridnya dengan panggilan itu?

"Cuman wali doang ngapain dia minta nomor lo langsung? Kan bisa tuh lewat pegawai lain," tonyok Inggit enggan menatap lawan bicara.

Alsan tak bersuara, entah mengapa disaat ini sejujurnya fokusnya lebih tercurah pada pekerjaan.

"Heleh, kegatelan tuh sama lo, ada yang doyan juga ya sama orang kek lo," mulut Inggit menyunggingkan senyum mengejek dan terus melontarkan kalimat sarkas, ia tak peduli jika lawan bicara sedang sibuk-sibuknya.

"Saya tidak berpikiran apapun, saya hanya berniat membantu dan menghargai seorang wali santri" Alsan mencoba menjelaskan.

Inggit menyandarkan pinggulnya pada meja hitam tempat Alsan berkutat pada kertas-kertas diatasnya. Dengan tangan masih bersedikap, bola mata cokelat itu mengedar kesana kemari dengan senyum miring.

"Menghargai tuh lihat-lihat orangnya kayak gimana. Gue perempuan tau, matanya aja udah jelas punya maksud melenceng kemana-mana,"
Inggit semakin menghujani dengan perkataan yang seolah-olah itu adalah unek-unek nya.

"Maafkan saya, saya tidak tau kalau kamu merasa seperti ini, saya akan menghindarinya."
Sejujurnya Alsan heran dan tak mengerti mengapa Inggit tiba-tiba berbicara seperti ini.

"Udah tau kan pak, kalo di ajaran agama islam itu hubungan perempuan sama laki-laki yang gak memiliki ikatan darah tuh haram. Lha, trus seorang ustadz malah ngeladenin perempuan kek gitu, apa coba itu namanya. Sebenernya lo juga sama-sama mau kan?"

"Saya sungguh tidak memiliki maksud lain Inggit." Alsan semakin tak berkonsentrasi pada pekerjaannya.

"Tapi kan sama aja, lo gak nganggep gue ada kan?" Inggit semakin menjadi-jadi.

Alsan menghela nafas lalu menatap Inggit lekat.
"Saya sudah mencintai istri saya, bagaimana saya tidak menganggapnya ada?" Finally, tanpa sadar ungkapan perasaan akhirnya meluncur dari bibir itu, tetap lemah lembut namun penuh arti.

Married with Pak Ustad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang