Chap. 16 - Pakai Hijab

334 10 0
                                    

"A'udzubillahiminasyaitonirojim bismillahirohmanirohim...

barooo-atum minallohi wa rosuulihiii ilallażiina 'aahattum minal-musyrikiin...

fa siihuu fil-ardhi arba'ata asy-huriw wa'lamuuu annakum ghoiru mu'jizillaahi wa annalloha mukhzil-kaafiriin."

Di pagi ini, lantunan lirih surat At-Taubah memenuhi seisi kamar yang terdapat dua manusia berbeda jenis ini. Inggit nampak gelisah dalam tidurnya, pagi hari telinganya selalu disuguhkan dengan bacaan-bacaan dari pria itu. Sudah menginjak tiga bulan semenjak ia kecelakaan, semua kondisi tubuhnya sudah pulih. Mulai hari ini, gips putih sudah tidak melilit ditangan maupun kakinya. Kini ia bisa lincah kesana kemari seperti sedia kala.

Inilah hari yang ditunggu, setelah sekian lama akhirnya ia bisa bekerja kembali. Inggit membuka kelopak matanya sempurna, ia menyibak selimut, duduk, menenggak segelas air putih di atas nakas seperti biasa.

Alsan yang merasakan pergerakan Inggit memilih mengakhiri bacaannya, ia menutup mushaf, melepas peci, dan melipat sajadahnya. Alsan menghampiri inggit.

"Inggit sudah sholat subuh?" Pertanyaan setiap hari, namun tak pernah digubris Inggit.

"Apakah tangan dan kakimu sudah enakan?"

"Ya."

"Inggit, saya ingin bicara denganmu."

Wanita itu hanya bergumam.
Alsan mengambil duduk di tepi ranjang.

"Mengingat kamu sudah pulih, sepertinya kita tidak perlu ART lagi. Saya kasihan bi Sri harus bekerja dobel, selain itu saya masih sanggup mengerjakan pekerjaan rumah. Kita juga tidak mau memperlihatkan rumah tangga kita ke orang lain, kan? Bagaimana menurutmu?"

Inggit mendengus, ternyata bukan masalah ceramah panjang lebar seperti rutinan yang menyuruhnya untuk sholat.

"Bukan urusan gue. Ini rumah rumah lo! Asalkan gue gak kerja apapun."

"Yasudah, nanti temani saya bicara sama bi Sri ya?"

Menurut Alsan, ia perlu memikirkan ini. Ia tidak perlu ART, bukannya memutus pekerjaan atau rezeki orang lain, ia hanya takut terlalu bergantung dan tidak bisa merasakan nikmatnya mengurus rumah tangga, walaupun bi Sri seperti keluarga sendiri bagi keluarga Inggit, urusan rumah tangganya dengan Inggit tak selayaknya diketahui orang lain. Disisi lain, walau bagaimanapun Bi Sri juga seorang perempuan ia ingin menjauhi hal sekecil apapun yang dapat menimbulkan fitnah.

Alsan tersenyum.
"Kalau begitu saya masak dulu, kamu mau makan, kan?"

"Gak, gue makan sekalian di kantor." jawabnya malas menanggapi.

"Loh, hari ini kamu kerja?" tanya Alsan sedikit terkejut.

"Bukan urusan lo."

____________




Beberapa jam setelah percakapan tadi, Alsan keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya dengan handuk, kemeja putih sudah melekat ditubuhnya.

Netranya menangkap Inggit yang sudah sibuk didepan cermin.
Ia baru ingat, Inggit juga pergi bekerja.

Didalam kamar itu mereka sibuk sendiri-sendiri. Alsan selesai dengan memakai jas dan dasi. Sembari menunggu Inggit, ia memilih duduk di sofa kamar.

Alsan mengamati Inggit dari belakang. Pakaian yang Inggit kenakan adalah baju kemeja dan rok ketat selutut. 'Astaghfirullah'

Alsan menekan pelipisnya. Lagi-lagi ia membiarkan wanitanya seperti ini. Sungguh kesalah besar bagi dirinya,
tugasnya sehari-hari memberi tausiah di majelis-majelis, menjadi pimpinan di pesantren, mengajar. Bagaimana ia tak malu dengan dirinya sendiri? justru hal yang paling penting malah tidak bisa, ia membiarkan istrinya tidak menutup aurat.

Married with Pak Ustad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang