Chap. 12 - Kecelakaan

496 16 2
                                    

Kuda besi itu melesat dengan kecepatan tinggi. Wanita yang ada didalamnya mencengkram setir kuat-kuat, masih dengan kobaran emosi yang melahapnya.
Dari arah seberang, klakson kendaraan lain bertubi-tubi menyalakan suara nyaring ditelinga Inggit, kilatan lampu putih semakin mendekat di pelupuk mata dan...

DUARR... PYARR...

Seketika tubuh Inggit terasa terguncang hebat. Apakah ia baru saja mengalami kecelakaan? Inggit hanya tau jika mobilnya bertabrakan dengan mobil lain, ia tak sadar dengan darah yang sudah mengalir deras di tangan dan lututnya. Hanya sepersekian detik penglihatan Inggit buram dan menggelap.

Roda sepeda motor yang dikendarainya semakin berjalan pelan melihat ramai pengendara yang berhenti karena jalan raya macet. Dari benda pipih itu Alsan melihat titik lokasi, lokasinya tak jauh dari Inggit. Alsan mengedarkan pandangan mencari mobil Inggit yang ikut terjebak macet entah di salah satu deretan mana.

Telinga Alsan mendengar cuitan orang-orang jika penyebab macet ini karena  ada kecelakaan didepan, ia celingukan tapi tak kelihatan apa yang terjadi didepan.

Ia menoleh kearah zebra cross, ada beberapa orang memakai pakaian timsar sedang membopong tandu berisikan seorang wanita dengan kulit tertutup warna merah karena lumuran darah, tunggu... apa ia tak salah lihat?

Deg.

Wanita itu Inggit. Jantung Alsan seolah sudah keluar dari tempatnya.

Ia segera menepikan sepedanya, berlari menjemput tandu tersebut. Oh Allah, tolong selamatkanlah istrinya.
Ia berlari sekencang-kencangnya menghampiri tandu itu.

"Tolong jangan mendekat pak." Para petugas menghalangi nya. Kini timsar mencoba memasukkan tandu dalam mobil ambulance.

"Biarkan saya masuk ambulance. Saya suaminya."
Setelah mendengar Alsan, petugas tersebut mengangguk. Ia memasuki ambulance dan duduk disamping timsar. Alsan tak sanggup melihat kondisi wanita didepannya ia tak salah lihat itu memang Inggit.
"Kamu kuat Inggit, tolong tahanlah sebentar Inggit." Rintihnya pelan.

Alsan berusaha menenangkan dirinya. Ia harus tegar, itu artinya Allah masih menyayangi istrinya.

Mobil putih yang melesat cepat itu tiba disebuah gedung besar rumah sakit.

Timsar dengan sigap mengeluarkan tandu dan mendorongnya masuk kedalam pintu bertuliskan ruang UGD.

"Mohon maaf, selain tenaga medis dimohon menunggu diluar." seorang perawat menahannya.

Alsan berjalan lunglai dan duduk di kursi besi itu. Setiap saat bibirnya komat kamit tak berhenti berdoa.

Ia teringat sepeda motornya masih ia tinggal di jalanan. Ia membuka handphone, berniat meminta tolong orang kenalan untuk mengurusi sepedanya.

Tit tit tit.

Tak hentinya panggilan menghubungi ponselnya, nomor kontak papa mertua, hingga ibunya, ia angkat satu persatu namun bibirnya masih kelu untuk bicara.

___

'Daerah persimpangan Artasuana,' setelah mendengar berita itu, bawahan Adam langsung menjemput di rumah sakit tujuan, tentu atas suruhan Adam.

Di kursi besi rumah sakit itu duduk meringkuk seorang pria dewasa dengan rambut berantakan dan penampilannya terlihat kacau, sosok itu ia duga Alsan-suami atasannya yang pernah ia temui satu kali saat acara pernikahan, Tino segera menghampirinya. Tak heran, Adam adalah orang berpengaruh sehingga informasi apapun mengenai keluarganya pasti didapat dengan cepat.

"Tenanglah."
Melihat Alsan yang kusut, membuat Tino tak tega. Ia tau bagaimana kacaunya perasaan pria ini.

Alsan yang mendengar suara bass itu mendongak.

"Saya Tino. Bodyguard pak Adam."

Alsan membalas dengan senyum tipis. Walau tak berkenalan Alsan ingat pria ini, semua hal mengenai   keluarga Inggit sudah pernah ia telusuri.

"Minumlah." Tawar Tino.

"Terimakasih."

______

Alsan tetap duduk kursi tunggu. Sedari tadi keluarga silih berganti datang. Namun dari UGD sampai dipindahkan ke ruang isolasi, selama itu Inggit masih tak sadarkan diri. Kata dokter yang baru saja memberikan hasil Rontgen, Inggit tak sadarkan diri dann besok pagi ia baru dioperasi. Kini tinggal ditemani kedua mertuanya.

"Alsan minta maaf pa, ma, tidak bisa menjaga Inggit sampai ia seperti ini karena Alsan membiarkan Inggit pergi sendiri."

Ia telah menjelaskan kronologi pada mertuanya kecuali kejadian saat di dapur, soal itu ia memilih diam karena ini urusan rumah tangganya sendiri.

"Ini sudah takdir kan nak?"
Tidak usah meminta maaf."
Adam mengusap punggung menantunya menenangkan. Ia melihat ketulusan yang begitu besar di hati Alsan untuk putrinya. Ia bersyukur, memang benar ia tak salah pilih. Mendiang Ramdan berhasil mendidik putranya sampai seperti ini, 'Tidak menyangka jika putramu benar-benar menjadi menantuku.' Batin Adam dalam hati.

Beberapa jam berlalu.
"Pulanglah ma, pa, biar Alsan saja yang menunggu," ia kasihan melihat mertuanya yang pasti butuh istirahat. Dan tempat disini juga mustahil untuk mereka istirahat.

"Kalau begitu besok pagi kita akan kesini lagi. Kamu juga perhatikan dirimu."

"Iya ma"

***

Di atas brangkas itu, Inggit tidur dengan gips dan berbagai alat medis yang menempel ditubuhnya. Alsan duduk tepat disamping Inggit yang masih setia memejamkan matanya. Beberapa jam yang lalu operasi kaki dan tangan Inggit telah selesai.

Sedari pagi hati dan bibir Alsan tak hentinya mendoakan kebaikan Inggit, walau Inggit masih belum membuka matanya namun penampilan Alsan lebih tenang dan tak sekacau kemarin.

________



Jangan baca doang ya guys, yuk VOTE & KOMEN biar yang diluar mau mampir ke sini, ehek^^
Maaf ya lama gk update karena saya punya banyak kegiatan di real life apalagi mood sering naik turun.
Mohon maaf kalau kurang puas dengan chap ini.

Jangan lupa tetep jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama ya..!

Hranaq_
Hranaq_

Married with Pak Ustad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang