Hukum Raja

77 64 19
                                    

"Yang mulai, sesuai perintah anda, Ratu kami seret ke hadapan anda." Ucap salah satu prajurit.

Semuanya menunduk memberi penghormatan. Ratu terduduk pada hadapan Raja, rambutnya berjatuhan menutupi wajahnya yang tidak berdaya dan putus asa. Tatapan tajam Raja masih belum berkurang, jarinya mengetuk-ngetuk permukaan singgasana.

"Apa yang begitu bisa di bilang menyeret?. Kalian sungguh bawahan yang bodoh." Singgungnya.

Para prajurit mulai berkeringat dingin, mereka tidak ingin menyakiti Ratunya namun mereka juga sebenarnya tidak bisa membantah perintah Raja, jika mereka memang masih sayang nyawa.

"Maafkan atas kesalahan besar kami, yang mulia, mohon pengampunannya." Getaran dari suara salah satu prajurit begitu nampak, mereka hampir pasrah.

"Pengampunan? Dariku? Hahha, begitu percaya dirinya kalian. " Raja perlahan bangkit dari singgasana, melangkahkan kakinya menghampiri Ratu.

"Apa ini, Ratuku yang sangat aku cintai menjadi tidak berdaya. Aku ingat bahwa sebelumnya kau sungguh sombong dan sangat berani. Kenapa sekarang kau sangat berantakan? Kemana keberanian dan kepercayaan dirimu sebelumnya?" Tangannya mengelus pipi Ratu, membelainya dengan pelan sembari menyelipkan rambutnya yang menutupi wajahnya pada belakang telinga, terlihat matanya yang kelam, tidak ada sedikitpun pancaran cahaya.

Ratu melirik kearah Raja, membuat Raja menampilkan senyum merekah namun menakutkan. Prajurit yang ada di belakang Ratu masih tidak berani bergerak atau mengatakan apapun, jika mereka melakukan kesalahan maka leher mereka taruhannya.

"Ah, tapi wajahmu sungguh masih cantik, andai kita membuat anak, apa dia akan mewarisi kecantikanmu atau ketampananku?" Tangan Raja beralih mengelus atas kepala Ratu. Namun Ratu menepisnya dengan kencang.

"Kau masih banyak bicara dan tolong jauhkan tangan kotormu, bajingan." Cemooh ratu, membuat Raja melebarkan senyumnya.

"Akhirnya kau mengeluarkan suara indahmu, sayang" Raja mengusap tangannya yang baru saja ditepis oleh Ratu, walau terlihat tidak seberapa namun sebenarnya itu cukup keras dan lumayan sakit

"Hentikan omong kosong tidak berartimu, Vinc." Ratu memberikan tatapan tajam dan suara yang menusuk, dia tidak memanggil dengan panggilan raja ataupun yang mulai, namun nama sang Raja, Vinc Imae Fuend.

Vinc menatap Ratu, mata merahnya bersinar saat diterpa cahaya matahari yang masuk dari berbagai sela-sela maupun jendela. Tangannya menyentuh mulut, matanya menyipit, senyum mengerikan kembali muncul, dia berdecak.

"Oh, oh, oh~, Ratuku, Asteva Leinicol, keberanianmu ternyata masih ada. Mengapa kau masih saja tidak luluh? Apa kebaikan dan ketulusanku sama sekali tidak cukup bagimu? Sungguh sayang sekali," Dia menunjukkan wajah kecewanya namun senyumnya masihlah belum luntur.

Para prajurit di belakang sana hanya meneguk ludah. Mereka berkeringat dingin dibalik seragam besi. Raja mereka saat ini sangat marah. Entah apa yang akan terjadi setelahnya.

"Memangnya kenapa? Kau hanyalah seseorang yang sangat busuk, tidak seharusnya kau lahir di dunia ini. Kau itu adalah sumber dari kesengsaraan bagi semua orang, tidak ada hal baik darimu sedikitpun." Perkataan Asteva penuh penekanan, terpancar kebencian dari tatapannya. Asteva nampak seperti akan menikam Vinc andai saja ada pedang atau apapun yang bisa dijadikan senjata.

Tubuh Asteva tidak terikat apapun, dari tangan hingga kaki, dia bisa kabur melarikan diri, tapi tentunya itu tidak bisa, di belakang sudah ada prajurit yang siap mendengar perintah Raja walaupun para prajurit tidak tega melukai Asteva. Sebuah keharusan yang wajib bagi para bawahan Raja untuk menaati setiap perintahnya, bahkan jika itu bertentangan dengan kehendak mereka, karena jika membantah mereka akan segera di hukum mati ataupun dihukum dengan hukuman berat. membantah ataupun tidak menaati peraturan Raja adalah sebuah dosa besar di Kerajaan.

Tubuh Asteva terbilang tidak ada luka sedikitpun, hanya saja tubuhnya sekarang menjadi begitu lemah dan hampir sekarat karena kurang makan dan lama terkurung di penjaranya.

Tangan Vinc meraih rambut Asteva, menariknya kencang dan mengarahkan wajahnya lebih dekat pada Vinc hingga mereka saling tatap-menatap. Asteva sedikit meringis akibat cengkraman pada rambutnya seakan itu semua akan rontok pada genggamannya.

"Ya, kau memang benar dan tidak salah sedikitpun. Tapi sungguh, kata-katamu menyakitkan. Aku ini sangat busuk, sama sekali tidak pantas untuk mendapat cinta atau bahkan rasa sayang se-inci pun, benar kan?," Terkekeh,

"Apapun tentangku selalu buruk dan tidak ada yang baik, begitulah, tidak ada yang berharga dariku, jadi untuk apa sebenarnya aku dilahirkan?. Ahh.... mungkin untuk memberikan kesengsaraan? Atau.....untuk dirimu?." Cengkraman pada rambut Asteva semakin mengencang, membuat matanya menyipit menahan ringisannya untuk tidak keluar dari mulut.

"Kau bajingan menjijikan, lepaskan..." Tangan asteva menggenggam tangan Vinc, menancapkan kukunya pada kulit lengannya yang terbuka. Tidak ada ringisan yang keluar dari Vinc walaupun sekarang mengucur darah segar dari lengannya yang sedikit robek cukup dalam karena kuku Asteva, yang dia lakukan hanyalah memberikan senyum.

Gila, dia gila, sejak awal dia memang gila. Bagai sebuah takdir buruk dan kutukan bagi asteva untuk berhubungan dan mengenal Vinc, tidak ada yang salah awalnya pada kepribadian Vinc, hanya terlihat seperti anak yang nakal, namun lama bagi waktu untuk menunjukkan sifat aslinya yang ternyata begitu gila dan sakit jiwa.

"Omonganmu sama sekali tidak berarti, jadi, berhenti mengoceh, dan keluar dari kehidupanku. mati saja sekalian." Asteva memperdalam tusukan kukunya dan menarik cakaran yang lebih panjang, semakin banyak darah yang menetes dari tangan Vinc dan hembusan nafas Asteva yang memburu seakan senang melihat ceceran darah merah di depan matanya.

Pikiran mereka berdua kacau, tidak ada yang berani melerai, karena kedua orang ini sudah begitu buta.

"Asteva, kau juga kejam, bukan?," Melepaskan cengkraman pada rambut Asteva.

"Lihatlah dirimu, melukai seorang Raja, yang mana ada sebuah peraturan 'siapapun yang melukai Raja, maka akan mendapatkan hukuman mati.' Jadi, apa ya yang harus aku lakukan?" Vinc cekikikan, menatap darahnya yang sudah berceceran tanpa ada raut kesakitan di wajahnya.

"Aku tidak peduli." Tangan Asteva beralih menarik kerah Vinc, berbisik pelan.

"Aku membencimu, kau dengar?. Bisakah kau memberiku pedang atau semacamnya? Aku sangat ingin menyayat mulutmu dan merobek tubuhmu kemudian membuang sisa tubuhmu ke tengah jalan agar semua orang bisa menginjak-injakmu." Tatapan membunuh terpancar dari matanya, tidak ada lagi tanda kelembutan dari matanya yang sudah tidak pernah terlihat lagi.

Salah satu prajut mendekati Raja setelah Raja memberi isyarat. Prajurit tersebut memberikan sebilah pedang dengan penuh hormat, pedang bermata dua dengan corak bunga lily berwarna silver, sangat tajam dan indah, bilahnya bahkan memantulkan cahaya yang cerah. Segera tatapan Asteva teralihkan pada pedang tersebut, seakan melihat sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu, ia hampir saja akan langsung merebut pedang tersebut jika tidak melihat tatapan Vinc yang mematikan.

Sebuah gejolak aneh muncul pada diri Asteva, dia berpikir bahwa Vinc menuruti perkataannya untuk diberikan pedang karena dia segera membawakan sebilah pedang sekarang.

Hingga Vinc mengangkat tangannya, yang terakhir kali Asteva ingat hanyalah retina matanya yang merah seperti ruby itu bersinar gelap menatap dirinya.




*Minggu/19/November/2023

VinctevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang