(Belum di revisi jadi kemungkinan banyak kata yang belum rapi atau typo)
Kami berjalan bersama secepatnya. Setelah melewati halaman yang cukup luas, kami akhirnya bisa sampai pada depan pintu rumah. "Aah... Akhirnya, kita selamat..!"
Tanganku mendorong pintu hingga terbuka lebar. Melangkahkan kaki terburu-buru menuju kamar Marques Leinicol, ayahku. Ketukan dari kaki kami berduara terdengar di sepanjang lorong rumah hingga akhirnya sampai pada tujuanku.
"Ayah!" Suara nyaring ditambah dobrakan pintu yang kencang membuat dua sosok yang sebelumnya terlelap dalam tidur jadi terbangun. Wajah mereka tidak ada lagi rasa ngantuk begitu aku kembali berkata, "terjadi pembunuhan".
"Aste? Kau tidak sedang dalam alam khayalmu kan?" Ucap seseorang berparas lembut di samping ayah, ibuku. Ditanggapi anggukan oleh ayah.
"Tentu tidak!, ayah dan ibu lihat dia?, Lihat! Apa mungkin yang ada di seluruh tubuhnya itu adalah selai strawberry?." Kedua tanganku terangkat menuju pada vinc dan mata penuh kepastian tertuju pada kedua orang tuaku. Namun yang dilakukan vinc bukannya memberi dukungan yang ada malah menggaruk pipinya. Beruntung ayah dan ibu langsung tersadar dan mempercayaiku.
"Aste, Di mana kamu melihatnya?" Ayah tidak membuang waktu. Dia segera meminta rinciannya padaku. Saat aku katakan bahwa itu bukan pembunuhan biasa, ayahku menajamkan alisnya.
"Baiklah. Kau segera diam ke kamar. Dan untuk anak yang di sampingmu... Panggil pelayan, bersihkan dia dan beri tempat di kamar tamu." Tegas ayahku, setelah beberapa saat melanjutkan lagi,
"oh, besok pagi kau harus menjelaskannya. setelah membersihkan diri segeralah tidur. Mengertikan, asteva?." Ucapan ayah membuatku memalingkan wajah sembari mengusap tengkuk. Tidak ada yang tidak aku mengerti dari perkataannya.
Ibu pergi mengiringi ayah, sepertinya bersiap untuk memerintah para knigh. Aku menghela nafas, melirik dari sudut mata, Vinc yang menatap kearahku dengan matanya yang mengerjap.
"Nah, kau dengar kan? Ayo, aku akan memanggil pelayan."
Kemudian kami berjalan menuju kamar para pelayan, mengetuk salah satu pintu. "Ah, nona, ada yang bisa saya bantu?" Ucap seorang pelayan pria yang baru saja membuka pintu. Aku tidak ingat namanya, yah tidak penting juga.
"Kata ayah, antarkan dia ke kamar tamu dan membantunya membersihkan diri." Menarik vinc ke depan. Ekspresi sang pelayan nampak terkejut pada penampilan vinc. Dia segera mengangguk dan melaksanakan perintah ayah. Sementara aku pergi ke kamarku.
"Ah, lelahnya..." Begitu aku merebahkan diri diatas kasurku yang empuk, tubuhku yang sebelumnya terasa tegang kini menjadi segar. Aku berbaring menyamping, mulai memikirkan mengenai apa saja yang baru-baru ini terjadi padaku. Sebenarnya bukan hal yang baru bagiku untuk melihat hal-hal mengerikan tadi, karena aku sudah mengalaminya sebelumnya.
"Vinc... Vinc... Vinc... Ahhk sekarang apa yang harus aku lakukan?" Aku berguling-guling diatas kasur bersama bantalku. Otakku rasanya akan meledak jika memikirkan apa yang harus aku lakukan mulai sekarang.
"Aku tidak ingin melihat wajah menjengkelkannya itu lagi... Tapi itu tidak mungkin. Harus mulai dari mana? Sulit untuk menghadapi vinc. Eh, tunggu, vinc yang sekarang kan kecil, mungkin aku bisa memperbaiki 'pikiran' nya yang gila itu? Agar tidak ada hal buruk kedepannya seperti di kehidupan pertama."
"Ah, ya, aku juga masih perlu memastikan, apa dia memang tidak kembali ke masa lalu sepertiku. Kalau iya... Itu benar-benar bahaya."
Helaan nafas keluar dari mulutku. Saat memejamkan mata, kilasan tentang ingatan sebelumnya terus terlintas dalam benakku. saat dia menusukku, tidak, menusuk kita berdua, perasaanku saat itu sangat aneh."Kira-kira apa yang membuatku hidup kembali ke masa lalu. Apa karena pedang itu?"
Ketika aku terus bergumam sendiri, ketukan di pintu membuatku kembali sadar pada sekitar.Aku turun dari kasurku menuju pintu, suara gagang pintu berbunyi saat di tarik dan pintu terbuka. Memperlihatkan sosok anak kecil dengan piyama putihnya. Rambutnya masih nampak basah menandakan dia baru saja mandi.
"Ada apa?" Sorot mataku tertuju padanya, pada wajahnya yang disinari oleh cahaya lilin, wajah yang paling aku benci.
"Boleh aku masuk?" Suara kami berdua memecah keheningan malam. Vinc kecil berdiri di hadapanku, jika itu dia dengan ingatan lamanya, aku pasti akan menusuknya.
Aku berpikir dalam beberapa detik, "baiklah" Mempersilahkannya masuk kemudian menutup pintu. Lilin di kamarku masih menyala untuk menyinari sebagian ruangan.
Suara yang tenang dan sunyi ini membuat perasaanku terasa hanyut diantara kenangan yang telah lalu. Kami berdua duduk di sofa yang ada pada kamarku, sementara lilin aku letakkan pada atas meja di hadapan kami.
"Namamu siapa?" ucapnya, memecah keheningan yang menurutku terasa canggung. Sebenarnya aku tidak ingin terlalu lama bersamanya, terutama berbicara dengannya. Namun jika menghindarinya sekarang akan membuat diriku terlihat aneh.
Aku menjawab, "Asteva Leinicol." aku lihat dia menganggukan kepalanya dari penglihatan sudut mataku, sejak tadi aku hanya menatap kearah lilin yang perlahan mulai meleleh sedikit demi sedikit.
"Namaku Vinc Imae Fuend. " ungkap anak laki-laki dengan rambut hitam kecoklatannya. Kini nampak jika dia mengarahkan pandangannya padaku untuk menunggu reaksiku dengan ujung bibirnya yg terangkat sedikit.
"Kalau begitu salam kenal. Aku sangat berterimakasih karena sudah membantuku."
Dalam hatiku, aku tidak rela untuk mengatakan terimakasih sedikitpun.Kemudian dia menceletuk, "hanya itu? Tidak ada lagi yang akan kau katakan?" Dia mulai bersungut-sungut dengan wajah yang menyebalkan.
Alis dan dahiku mengerut, ingin sekali rasanya menggerutu dan mengeluarkan seluruh kata-kata cela untuknya setiap melihat wajahnya yang seperti itu. Aku sudah berusaha menahan seluruh batinku yang sedang meraung-raung sejak lama.
"Iya, hanya itu. Memangnya apa lagi yang harus aku katakan?" keluhku dengan memutar bola mata.
"Kau tidak terkejut? Margaku Fuend, kau tau artinya apa kan? Aku anak Raja, seorang Pangeran. Kau harusnya terkejut dan memberiku salam!"
Dia menggerutu, hingga gerutuannya itu membuatku sadar bahwa kini aku hanya anak dari Marquez sementara dia anak raja. Hanya saja, perkataannya itu membuat mataku berkedut karena betapa percaya dirinya dia karena dia anak Raja. Sungguh menyebalkan.
Update#kamis, 4, april, 24

KAMU SEDANG MEMBACA
Vincteva
أدب المراهقينPintu besar terbuka, cahaya masuk menyinari masing-masing retina mata yang ada di sana. Begitu memasuki ruang singgasana di sana sudah menanti sang raja, sebelah tangannya yang bertumpu pada dagu dan pipi sementara sebelah tangannya di sisi singgasa...