Part 4

2.5K 156 8
                                    

Ethan menuntun putrinya yang langsung berlari ketika melihat para sepupunya bermain di halaman rumah kakek mereka. Keempat keponakannya bermain di halaman rumah. Cia ikut menyusul bermain, sedangkan Ethan langsung memasuki rumah, di mana seluruh keluarganya tengah berkumpul.

Tampak di ruang keluarga, kedua orang tuanya serta adik-adiknya berkumpul di sana. Mereka membicarakan seputar politik yang selalu jadi bahan perbincangan ketika semuanya berkumpul.

Adik laki-laki Ethan adalah seorang kolonel, istrinya seorang jaksa. Sedangkan adik perempuannya seorang dokter yang bersuami seorang pengusaha kaya raya. Jadi, ketika berkumpul, yang di bahas hanya urusan seputar dunia politik. Dunia yang sebenarnya cukup menjenuhkan. Hanya adik perempuannya yang jarang menimbrung karena profesinya sebagai dokter.

"Hai, kak, kau baru datang?" Emili menyapa ramah. Adik bungsunya itu segera berdiri dan memeluknya.

"Aku baru saja tiba. Papa mengabari jika kalian semua ada di sini. Makanya aku kemari."

"Duduklah Kak. Kita santai-santai di sini. Pumpung kita semua tidak sibuk." Ernest menyeruput kopinya, kemudian Elli, ibu mereka menyuruh pelayan membuatkan segelas capuccino kesukaan Ethan.

"Papa senang, kita bisa berkumpul  hari ini. Biasanya kalian semua sibuk. Papa dan mama kesepian. Hanya Arga yang rajin kemari, bahkan melebihi Emili."

"Pa, Arga pengusaha, aku dokter. Tentu saja dia lebih punya banyak waktu." Emili tampak tidak terima di bandingkan dengan Arga, suaminya sendiri, membuat Arga tergelak seketika.

"Sayang, kau tahu sendirikan kalau aku juga sibuk. Aku hanya mampir agar papa dan mama tidak kesepian."

"Suamimu perhatian pada papa dan mamamu, kenapa kau sewot Emili." Ernest menimbrung sambil meletakkan kepalanya di pundak Rika istrinya. Membuat wanita kaku itu tampak tidak nyaman.

Ethan ikut duduk di karpet, ia hanya tersenyum mendengarkan perdebatan kedua adiknya. Sedari kecil mereka betah berdebat, dan sampai dewasapun tidak pernah berubah.

"Than, lusa kamu ditugaskan di istana negara?"

"Iya, Pa. Aku juga heran kenapa mereka harus melibatkan pasukanku. Ini bukan perang, hanya acara pertemuan para politikus. Aku dan atasanku merasa ada yang aneh."

"Kenapa sampai melibatkanmu Kak. Kau ada masalah dengan mereka?"

"Setahuku tidak Ernest. Kemungkinan, salah satu paslon yang di dukung presiden meragukan netralitas kita. Beberapa orang menteri dari partai yang ikut oposisi di ganti. Kepala BIN di ganti. Aku takut ada siasat dibalik tugas itu."

"Papa setuju. Kamu hati-hati. Kalau bisa, jangan makan atau minum di sana."

"Menteri pemuda dan olahraga baru saja terseret kasus. Aku yang menanganinya. Tidak ada barang bukti yang disangkakan, tapi tetap saja dijerat dengan pasal suap. Sampai sekarang aku masih mencari buktinya karena atasanmu terus menekan." Rika membenarkan kacamatanya. Ia memang sudah menduga akan ada banyak skandal menjelang pemilu, karena itu biasa terjadi selama ia menjadi jaksa.

"Mungkin papa benar. Mereka takut sebelum berperang karena elektabilitas partai petahana terjun bebas. Mereka melakukan segala cara agar tetap meraih suara, meskipun dengan membuat berbagai skandal untuk menutupinya."

"Hati-hati. Sepertinya mereka menargetkan akan menjatuhkanmu. Namamu terkenal bersih di kalangan masyarakat. Papa menolak berbagai tawaran untuk bergabung menjadi anggota partai mereka."

"Kenapa papa menolak? Papa seorang purnawirawan sekaligus politikus ulung. Banyak dari mereka ingin papa bergabung, aku yakin dengan latar belakang papa dan prestasi papa selama mengabadi pada negara, tidak sulit bagi papa untuk mendapatkan suara masyarakat."

"Kau benar Arga. Tapi, papa tidak mau mengotori masa tua papa dengan permainan kotor mereka. Papa ingin tenang di masa tua papa. Ingin fokus mengurus perkebunan sawit dan SPBU saja."

"Iya Pa. Aku juga setuju. Permainan mereka benar-benar kotor. Papa tidak akan bisa menikmati masa tua jika ikut-ikutan mereka." Emili menimbrung, tidak mau papanya berpolitik karena mengkhawatirkan kesehatan sang papa.

"Papa belum cerita pada kalian. Sebenarnya partai petahana menginginkan papa menjadi wapresnya."

"Apa!!!" Ketiga anak Dewangga seketika kaget. Tidak menyangka papa mereka merahasiakan hal sebesar itu.

"Kok papa nggak bilang sama kita mengenai hal seperti ini." Ernest tampak kaget, pikirannya langsung menerka-nerka apa ini ada hubungannya dengan penugasan Ethan ke istana negara besok lusa.

"Papa ragu untuk bercerita, tidak ingin kalian semua kepikiran. Namun, melihat situasi sekarang, papa harus siaga dan memperingatkan kalian."

"Ya, papa adalah pilihan terbaik mereka karena takut kalah oleh oposisi. Orang-orang mereka tidak ada yang menjual. Satu-satunya cara adalah menggaet orang non partai yang punya nama bagus, seperti papa contohnya."

"Kau benar Rika. Papa punya reputasi yang bagus. Keluarga kita juga tidak pernah terlibat skandal." Ernest tampak berpikir, kemudian langsung menatap Ethan.

"Aku setuju dengan papa kak. Sebaiknya kau tidak makan atau minum apapun di sana. Petahana terkenal dengan kelicikan siasatnya. Mereka akan melakukan segala cara agar kita bergabung dengan mereka."

Semua orang terdiam, menyetujui ucapan Ernest. Memang Ethan mendapatkan tugas langsung dari presiden. Tapi tetap saja, waspada sangat diperlukan untuk situasi sekarang.

"Kalian semua kenapa tegang sekali. Ayo makan malam. Jangan terus membahas hal-hal yang membuat membuat kita tidak berselera makan." Ellie berdiri, kemudian menyuruh pelayan menyiapkan makan malam.

"Papaaaa!!" Tampak dari ruang tamu, Cia berlari memeluk papanya. Gadis cilik itu kemudian menyalami kakek dan neneknya, lalu kemudian paman dan tantenya.

"Waaah Cia, kau cantik sekali malam ini. Dimana Anesa dan Alma?"

"Sudah berada di meja makan Tante Emili."

"Elsa dan Raisa?"

"Sepertinya juga sudah ada di meja makan Tante Rika. Mereka semua kelaparan dan menyuruhku kemari untuk mengajak kita semua makan."

"Lihatlah, anak-anak kalian sudah lapar. Jangan terus membicarakan masalah negara sampai kita semua lupa makan." Elli kemudian mengajak semua keluarganya untuk makan malam. Perbicangan seputar politik terhenti, dan topik selanjutnya adalah mengenai calon istri Ethan. Topik ini sangat dihindari oleh Ethan karena memang belum menemukan wanita yang tepat.

"Sayang, Cia suka nggak sama Tante Rosi?" Tanya Elli sambil tersenyum hangat dan membelai rambut cucunya yang malang. Sejak kecil, Cia sudah tidak memiliki seorang ibu. Harus tumbuh tanpa orang tua yang lengkap dan kerap ditinggal tugas negara oleh Ethan.

"Tentu Rosi adiknya mama ya Nek?"

"Iya, adiknya mama. Dia sayang sama Cia lo. Cia nggak pengen Tante Rosi tinggal sama Cia biar Cia ada temennya kalau papa sedang tugas?"

"Cia nggak tahu. Cia takut. Cia pengen sama papa aja."

Sepertinya cia terkena hasutan teman-temannya tentang bagaimana mengerikannya seorang ibu tiri. Hingga setiap membahas hal itu, Cia selalu tampak sedih dan itu membuat Ethan semakin ragu untuk menikah lagi.

"Ma, kemarin aku pernah cerita kalau pengasuhnya Cia mengundurkan diri karena ingin merawat ibunya yang sakit. Aku ingin mencari penggantinya, bisakah Mama membantuku." Ethan mengalihkan pembicaraan, tidak ingin mamanya terus-menerus membahas tentang perjodohan.

"Oh, begitu. Nanti mama bantu. Apa ada persyaratan khusus?"

"Nggak ada Ma. Yang penting nggak lagi hamil aja."

Elli mengangguk setuju. Mereka sekeluarga kemudian memutuskan untuk melanjutkan makan malam tanpa membahas hal-hal yang tidak penting atau berbau politik lagi.

Rianti Dan Sang Jenderal ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang