"Kodir, kamu ngerti kan?" Kumala bersuara keras, membuat Kodir tidak mampu menjawab. Rianti dan Mira juga tidak menyahut, Kumala terlihat sangat marah dan tidak ada yang berani membantah.
"Ibu benar Dir, sekali-kali kamu itu harus tegas sama anak-anak kamu. Selama ini kamu terlalu lembek, begini kan hasilnya. Kalau sudah begini, kita semua jadi ikut-ikutan malu. Kamu nggak denger gimana omongannya orang-orang. Mbak sekarang malu kalau mau keluar rumah, orang-orang menggunjing Rianti dimana-mana."
"Yang nyebarin rumor itu pasti Bude sama Tante kan?" Sahut Rafi sambil menatap tajam pada budenya. Darmi yang menyadari tuduhan itu berang seketika. Kenapa anak-anak adiknya yang satu ini biang onar sedari dulu. Di kasih tahu baik-baik malah ngelunjak.
"Bude nggak ngomong pun suatu saat semua orang juga akan tahu. Kamu lupa kalau perut yang lagi hamil itu tambah hari tambah besar. Jadi nggak ada pengaruhnya antara tersebar atau nggak."
"Rafi, ingat, kakakmu itu sudah cacat. Tidak bisa di tutup-tutupi lagi. Jadi, lebih baik nurut sama nenek biar punya masa depan. Bayangkan apa kata orang-orang jika kakakmu itu melahirkan tanpa suami. Bisa jadi pergunjingan seumur hidup."
"Itu bukan urusan anda Paman Zein. Biar kami yang mengurus Kak Rianti. Jadi, sebaiknya Anda semua yang terhormat pergi dari rumah kami sekarang juga."
"Rafi, kamu itu masih bocah. Jadi kalau orang tua ngomong itu di dengerin. Paman sama Bude kamu itu benar. Nenek kalian sudah berbaik hati memberikan sawah dan lahan supaya Rianti laku. Ini juga belum tentu Anwar mau lo kalau denger kamu hamil. Mbok ya kasihan sama kakek yang pusing-pusing memikirkan solusi. Ini kakek hipertensinya kambuh lo."
Dan sejujurnya Rafi tidak peduli jika kakeknya itu mati. Katakan ia jahat, tapi keluarga ayahnya itu benar-benar menjadi beban hidup bagi keluarga mereka. Sudah kesusahan, di tambah susah dengan kehadiran mereka. Meskipun katanya memberikan solusi, menurut Rafi malah menambah beban masalah.
"Begini Nek, Bude, Tante, dan paman-paman semua, saat ini keluarga kami sedang tidak baik-baik saja. Jadi, sebelum saya panggil hansip atau polisi, lebih baik anda semua pergi. Jika sampai ayah saya kambuh gara-gara hal ini, saya akan tuntut ganti rugi ke kantor polisi."
"Lo lo lo, kok kamu malah ngelunjak sih Raf. Bang Kodir, ini anak Abang kok jadi kayak gini sih. Nggak punya sopan santun. Di kasih saran malah ngusir."
"Zein dan semuanya. Aku capek. Kalau kalian masih mau di sini silahkan. Aku mau istirahat dulu." Kodir berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan orang-orang pembuat rusuh itu. Terserah bagaimana Rafi mengatasinya. Ia tidak mau kambuh karena terus mendengar omongan tidak penting mereka yang menambah beban pikirannya.
"Lo, Kodir!! Kamu ini gimana sih. Terus usul ibu tadi gimana? Kamu mau kualat lagi?" Kumala tampak tidak terima dengan reaksi Kodir yang seperti mengusirnya. Sudah jauh-jauh ia datang kemari memberi solusi, malah di suruh pulang. Dasar anak tidak tahu di untung.
"Aku nggak setuju Bu. Rianti juga nggak mau, jadi sebaiknya ibu pulang saja. Nggak perlu repot-repot ngasih sawah sama lahan." Jawab Kodir sambil menutup pintu kamarnya, membuat Kumala dan anak-anaknya bertambah berang.
"Rianti, apa kamu tetap bengal dan nggak mau nurut sama nenek?" Akhirnya Kumala memutuskan untuk menekan Rianti, jika gadis itu mau, orang tuanya juga pasti menurut.
"Ti, saran Tante kamu mau saja. Ini demi masa depan kamu lo. Lagi pula Anwar juga lumayan tampan." Tante Nisa berpura-pura memberi saran, padahal Rianti tahu wanita itu sangat puas dengan keadaan yang saat ini.
"Kalau kamu terus nolak dan mau jodoh yang kayak Aisyah, sebaiknya kamu itu ngaca Rianti. Dengan keadaan kamu sekarang, ada yang mau menikahi kamu itu aja udah untung." Perkataan Tante Nurul untuk yang kesekian kalinya entah kenapa membuat Rianti benar-benar berang.
Dalam hati Rianti yang paling dalam Ia memang sangat iri pada Aisyah. Namun, ia tidak pernah menarget untuk mencari jodoh menyayangi Aisyah. Ia hanya ingin pria yang menerimanya apa adanya dan cocok dengan hatinya. Tapi bukan Anwar, Rianti tidak suka dengan Anwar yang kata orang-orang malas bekerja dan diceraikan istrinya karena tidak mampu menafkahi anak-anaknya.
"Nenek, Tante dan semuanya. Saya tegaskan kembali bahwa perkataan adik saya benar. Urusan ini urusan kami sekeluarga, jadi nenek dan semuanya sebaiknya tidak usah ikut campur ataupun ikut memikirkan. Biar kami sekeluarga yang mencari solusi untuk masalah ini. Dan saya tegaskan saya tidak mau dijodohkan dengan Anwar atau siapapun pilihan kalian. Untuk masalah anak ini, saya bisa membesarkan anak ini sendirian. Sekarang saya mohon untuk kalian semua pulang, kami sekeluarga butuh istirahat."
Rianti berlalu ke kamar sambil menarik tangan ibunya agar mengikutinya. Ia membiarkan Rafi menghadapi mereka semua. Rianti yakin, Rafi pasti bisa mengusir orang-orang rusuh itu. Kalau semua pemilik rumah pergi ke kamar, siapa yang akan menyambut mereka. Kalau mereka mau tidur di rumahnya, ya silahkan.
"Dasar kalian semua, orang-orang tidak tahu terimakasih. Sudah bagus kami memikirkan nasib kalian, malah sambutannya kayak gini. Tahu gitu kita diam aja Bu. Kita lihat saja mereka, bisa nggak mengatasi masalah ini sendirian. Ya sudah Bu, kita pulang sekarang." Bude Darmi melotot menatap Rafi. Kumala dan yang lainnya juga terlihat marah padanya. Rafi sudah tidak peduli. Ia duduk di sofa dan mengabaikan orang-orang pembuat rusuh itu.
Setelah semuanya pergi, Rafi segera mengunci pintu ruang tamu. Ia kemudian berjalan menuju kamar Rianti untuk memeriksa keadaan kakaknya. Setelah apa yang baru saja mereka dengar, Rianti pasti syok dan sakit hati.
"Kak."
Rianti yang sedang memeriksa ponsel menoleh, menatap adiknya yang berjalan ke arahnya. Ia segera tersenyum, berusaha menutupi segala sakit hati yang saat ini ia rasakan akibat perkataan keluarga ayahnya tadi.
"Mereka sudah pulang?" Tanya Rianti kemudian.
"Sudah Kak. Tidak ada yang mengusir. Mereka pulang dengan sendirinya karena tidak ada yang menanggapi."
"Hmmm."
"Kak."
"Ada apa?"
"Jangan dengarkan mereka. Kakak tahu, Kak Rianti sangat berharga bagi kami. Meskipun tidak tahu siapa Ayah anaknya kakak, aku berjanji akan menyayanginya dan menjadi ayah yang baik untuknya. Hari ini aku dapat pekerjaan sampingan Kak, jadi kakak tidak usah bekerja lagi. Aku akan menanggung semua kebutuhan keluarga kita. Aku diterima di sebuah restoran cepat saji menjadi waiters. Gajinya lumayan. Jadi untuk sementara Kak Rianti bisa beristirahat dengan tenang."
Rianti menatap adiknya sambil tersenyum. Ia dan Rafi telah melewati suka duka bersama selama bertahun-tahun. Ia terharu adiknya begitu memperhatikannya seperti sekarang. Saat ini hanya merekalah yang Rianti miliki.
"Raf, saat ini kakak nggak bisa diem aja. Kakak harus bekerja untuk membiayai persalinan kakak nanti. Mungkin nanti di usia kehamilan kakak yang sudah mencapai 7 bulan lebih kakak akan beristirahat. Untuk sekarang kakak masih harus tetap bekerja agar kita tidak kesulitan uang saat kakak melahirkan nanti."
"Tapi kak____"
"Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. sekarang istirahatlah agar besok kamu bisa kuliah dan bekerja dengan tenang di hari pertamamu. Semoga sukses, kita akan melewati ini bersama-sama."
Rafi terpaksa mengangguk. Ia kemudian keluar dari kamar Rianti agar kakaknya itu beristirahat. Dalam hati Rafi berjanji, ia akan selalu melindungi kakaknya dan calon keponakannya dengan baik seperti kakaknya melindungi yang selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rianti Dan Sang Jenderal ( On Going )
RomanceBest seller 21+ Rianti tidak menyangka, hidupnya yang selama ini selalu di naungi ketidakberuntungan karena di kucilkan oleh keluarga ayahnya, kini bertambah sial ketika secara tidak sengaja ia di perkosa oleh orang asing saat bekerja sebagai house...