Part 23

1.6K 166 2
                                    

Rianti mematung di tempatnya, ia sangat terkejut dengan kehadiran Ethan yang kini berdiri menjulang tinggi di hadapannya. Pria itu menatapnya datar tanpa ekspresi, membuat Rianti kebingungan sendiri.

"Kau, ke ruang kerjaku sekarang. Aku ingin membicarakan masalah kontrak kerja denganmu. Aku menunggumu sekarang." Rianti masih mematung saat pria itu berlalu dari hadapannya. Ia mendapatkan kesadarannya beberapa menit kemudian.

Tidak ingin membuat Ethan tersinggung, Rianti segera berjalan mengikuti arah pria itu tadi berjalan. Tapi, bodohnya Rianti tidak bertanya di mana ruang kerja pria itu. Karena kebingungan di rumah yang luas ini, ia pergi ke dapur dan bertanya kepada salah satu pelayan.

"Mbak, ruang kerjanya Pak Ethan di mana ya?" Pelayan yang tempo hari menjemputnya di depan gerbang itu tersenyum padanya. Ia meninggalkan acara bersih-bersihnya dan berjalan menuju Rianti.

"Jadi mbak yang keterima kemarin. Kenalin Mbak, namaku Nina, aku keponakannya Bi Sarah." Mereka saling berjabat tangan dengan Nina yang sudah bercerita ke mana-mana dan Rianti tidak begitu paham.

"Mbak Nina__"

"Panggil saja Nina Mbak, umurku lebih muda dari Mbak Rianti."

"Nina."

"Iya mbak."

"Ruangannya Pak Ethan di mana ya? Tadi aku disuruh ke sana sama Pak Ethan dan aku lupa bertanya di mana ruangannya."

"Ooooh, gitu. Ayo aku antarkan Mbak. Nanti Mbak Rianti kesasar lagi. Rumah ini kan besar banget."

Rianti mengangguk. Ia mengikuti Nina menyusuri lorong rumah besar Ethan. Sampai disebuah pintu yang tidak jauh dari kamarnya, Nina menghentikan langkahnya.

"Ini ruang kerjanya Jenderal Ethan Mbak. Sebenarnya nggak jauh sih dari kamarnya Mbak Rianti sama Cia. Mungkin jika udah beberapa hari tinggal di sini Mbak Rianti bisa hafal tempat-tempatnya. Dan lagi Mbak, kalau ada salah satu pelayan yang resek, Mbak Rianti cuek aja."

"Emang ada ya pelayan yang resek di sini?"

"Ya adalah Mbak. Di sini ada 5 pelayan termasuk aku sama Bi Sarah. Ada sih sebagian gitu yang suka kepo. Tapi cuekin aja. Mbak Rianti tugasnya kan jaga Cia. Jadi kalau ada yang resek-resek, nggak usah di tanggepin."

"Oke, makasih atas sarannya Nina. Kalau gitu aku masuk dulu, takutnya nanti pak Ethan marah karena udah nunggu dari tadi."

"Oke mbak. Aku juga balik dulu ke dapur."

Nina kembali berjalan riang menuju dapur. Setelah punggung Nina tidak terlihat lagi, Rianti memasuki ruangan kerja Jenderal Ethan. Di kursi kerjanya, tampak pria itu sudah menunggunya dan menatap Rianti dengan tatapan tajam.

"Kau lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi. Di hari pertama saja kenapa kau sudah tidak disiplin." Ethan terlihat marah dan membuat Rianti takut sendiri.

"Eeeh pak, maaf. Tadi saya tidak langsung menyusul Bapak. Jadinya saya bingung ruangan bapak itu yang mana, akhirnya saya ke dapur dan bertanya pada pelayan. Maaf atas kecerobohan saya Pak." Ethan mengembuskan napas berat, kemudian menatap datar pada pengasuh putrinya itu.

"Ya sudah, duduk."

Tanpa menanyakan apapun lagi Rianti segera duduk di kursi yang ada di seberang Ethan. Ia tidak ingin membuat Ethan lkembali marah karena sikap leletnya. Rianti menunduk dan tidak berani menatap wajah Ethan dari tadi, membuat Ethan sedikit kesal melihatnya.

"Ini, surat kontrak kerjamu. Baca baik-baik. Jangan sampai ada yang kelewatan. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman nanti di tengah-tengah kau bekerja di sini."

Rianti meraih satu lembar kertas yang ada dihadapannya. Ia kemudian membaca satu persatu poin yang sangat biasa saja. Tidak ada yang merugikannya kecuali jika ia berbuat kesalahan, ia akan dipecat tanpa pesangon.

"Kau sudah baca semuanya?" Rianti mengangguk, Ethan kemudian memberikan sebuah pena padanya.

"Kau tentu sudah dengar, aku memecat pengasuh sebelumnya karena dia berusaha menggodaku. Aku memang seorang duda, tapi aku tidak serendah itu. Jadi, kau jangan coba-coba melakukannya seperti wanita itu."

"Baik Pak. Saya sangat mengerti."

Rianti meraih pena itu kemudian membubuhkan tanda tangan di kertas yang tadi diberikan oleh Ethan padanya. Setelah selesai ia menyerahkan kertas itu kembali pada Ethan. Tidak ada yang bersuara, Rianti tetap tidak beranjak karena Ethan belum menyuruhnya pergi.

"Ngomong-ngomong, apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku tidak asing dengan wajahmu."

Seketika wajah Rianti pias mendengar pertanyaan spontan Jenderal Ethan. Rianti langsung menggeleng cepat, ketakutan tersirat pada wajahnya. Ia benar-benar takut Jenderal Ethan mengingat malam di mana pria itu memperkosanya.

"Eeehm, baiklah. Kurasa memang banyak orang mirip di dunia ini. Mungkin aku bertemu dengan salah satu orang yang mirip denganmu. Ya sudah. Kau boleh keluar. Tugasmu dimulai ketika Cia pulang sekolah nanti. Ada beberapa jadwal les yang nanti akan diberikan Sarah padamu."

"Baik Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu."

Ethan mengangguk, ia menatap punggung Rianti yang keluar dari ruangannya. Entah kenapa Ethan merasa tidak asing pada wanita itu. Tapi di mana ia pernah melihatnya, Ethan benar-benar lupa.

**

"Pa, kayaknya Kak Ethan makin menjauh dari keluarga kita sejak kejadian itu. Aku merasa bersalah Pa. Harusnya kita nggak mengikuti ide Pak Usman untuk menjebak Kak Ethan." Rosi tampak murung sambil menyantap makanannya. Di meja makan bersama kedua orang tuanya, mereka membahas Ethan yang tidak pernah mengajak Cia ke rumah mereka semenjak kejadian itu.

"Iya Pa. Mama juga merasa bersalah pada Ethan. Meskipun Mama sangat ingin Ethan menjadi menantu kita lagi, tapi bukan begini caranya. Dugaan Mama benar kan, jika gagal, Ethan akan semakin menjauhi kita. Kalaupun berhasil, belum tentu rumah tangga Ethan dan Rossi baik-baik saja. Ethan pasti merasa dijebak dan dipermalukan di depan umum." Rima, ibu Rosi ikut murung, pasalnya sudah beberapa bulan ini ia tidak bertemu dengan cucu kesayangannya.

"Tapi saat itu Papa tidak punya pilihan Ma. Presiden dan Usman terus menekan papa agar Papa mendapatkan Jenderal Dewangga sebagai cawapres mereka. Posisi Papa dipertaruhkan di sini."

"Iya Pa, mama ngerti. Tapi kan resikonya sangat besar. Lihat sekarang, kita jadi semakin jauh sama Cia."

"Aku juga kangen sama Cia Ma."

"Kenapa kalian ribet sekali. Kalau kangen sama Cia, kalian kan bisa datang ke rumah Ethan. Kita punya hak atas Cia. Ethan tidak akan berani melarang kita ketemu Cia."

"Ethan sih nggak mungkin ngelarang kita Pa. Tapi mama nggak enak aja sejak kejadian itu. Kesannya kita kayak ikut-ikutan menjerumuskan Ethan ke dalam masalah."

Prasetyo semakin tidak berselera makan karena terus disalahkan oleh istri dan anaknya. Ia benar-benar dilema. Jika tidak menuruti presiden dan Usman, posisinya terancam. Di turuti, ia jadi disalahkan oleh keluarganya.

"Papa kemarin sudah minta maaf sama Ethan. Ya mungkin Ethan masih kecewa. Mama sama kamu jangan ikut-ikutan nyalahin papa dong Ros. Gimana pun juga Papa melakukan itu kan supaya Cia sama Ethan nggak jadi milik orang lain. Papa tetap ingin Ethan dan Cia menjadi bagian dari keluarga kita. Papa akan bicara dengan Dewangga. Sebenarnya ia setuju dengan rencana papa. Yang jadi masalah itu sebenarnya Ethan. Setelah ditinggal Rosali, laki-laki itu jadi enggan untuk menikah lagi."

"Kak Ethan sangat setia. Aku jadi iri sama Kak Rosali yang seratus persen mendapatkan cinta dari Kak Ethan."

"Nggak usah iri. Sebentar lagi kesetiaan itu akan menjadi milik kamu. Berusahalah, papa akan mendukung dari belakang dan memulai mempengaruhi keluarga Ethan agar segera menyetujui hubungan kalian."

Rosi mengangguk. Dalam hati ia bahagia jika suatu hari nanti Ethan menjadi suaminya. Sudah sangat lama ia menyukai mantan kakak iparnya itu. Dan ketika Rosali meninggal, kesempatan itu datang semakin besar jika saja Ethan tidak terlalu setia kepada kakaknya. Kini, Rosi akan berusaha sebaik mungkin agar mendapatkan hati Ethan dan bisa mengasuh keponakannya itu seperti anaknya sendiri.

Rianti Dan Sang Jenderal ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang