08. ponakan

2.2K 225 29
                                    

"Ayah, ayah kan udah tua, hampir sama kayak Daddy-nya Nana, Kenapa Ayah belum juga menikah? Padahal kan ayah sudah tunangan" ujar Nana yang membuat Jeno yang tengah berkutat dengan laptopnya itu menoleh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayah, ayah kan udah tua, hampir sama kayak Daddy-nya Nana, Kenapa Ayah belum juga menikah? Padahal kan ayah sudah tunangan" ujar Nana yang membuat Jeno yang tengah berkutat dengan laptopnya itu menoleh.

Habis pulang sekolah dengan jemputan Jeno Nana pulang kerumahnya buat ganti baju, setelah itu Nana ikut Jeno lagi ke kantor.

Seperti saat ini.

Nana sedang berbaring di sofa sembari menatap langit langit ruangan kerja di kantor Jeno.

"Jangan bahas yang begituan Nana, Nana juga gak ngerti apa apa tentang hal itu, banyak yang lebih berfaedah yang bisa Nana omongin dan Nana tanyain ke ayah" jawab Jeno.

Nana membalik badannya menjadi menelungkup, ia menghadap Jeno.

"Kan Nana pengen tau ayah, soalnya ayah kok sendiri terus? Apa ayah gak rindu sama tunangan ayah? Apa ayah gak mau nikah kayak Daddy dan Mommy?" Tanya Nana.

"Gak" balas Jeno singkat, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.

"Kata Mommy bulan depan tunangan Ayah balik ya, cieeee ayah..." Goda Nana.

"Bisa diam gak na! Ini ayah lagi kerja! Apa gak liat?!!" Sentak Jeno.

Nana terperanjat kaget dan mengatupkan bibirnya.

Jeno melanjutkan pekerjaannya dengan rahang yang mengeras.

Hening.

"A-ayah n-nana mau pulang" ujar Nana terbata.

"Bentar, pekerjaan ayah sebentar lagi selesai" ujar Jeno.

Nana berdiri di hadapan Jeno.

"Minta Daddy aja yang jemput Nana" ujar Nana pelan.

Jeno menoleh dan mendapati wajah Nana yang sangat kentara kalau ia sedang sedih.

"Bentar, ayah aja yang antar" balas Jeno lanjut mengerjakan pekerjaannya.

"Nana mau pulang sama Daddy!!" Teriak Nana.

Jeno menghentikan kegiatannya dan berdiri, ia menghampiri Nana dengan menatap Nana lekat.

"Bentak ayah?" Tanya Jeno pelan namun penuh intimidasi.

"Nana udah bilang kalau Nana mau pulang sama Daddy! Nana gak mau pulang sama ayah! Ayah bentak Nana! Nana-

Ucapan Nana terhenti saat bibir Jeno menempel di bibirnya.

Ketika tersadar, Nana mendorong tubuh Jeno menjauh.

"A-ayah kok cium di bibir?" Tanya Nana tak percaya.

Sebab ia selalu di peringatkan kalau tidak boleh siapapun mencium bibirnya kecuali suaminya nanti.

"Kenapa? Nana gak suka? Ayah pun sama, ayah gak suka Nana bicara hal-hal yang gak penting kayak tadi, tau apa Nana tentang cinta? Tau apa Nana tentang tunangan? Tau apa Nana tentang semua itu?" Tanya Jeno menggebu di hadapan Nana.

Nana baru pertama kali ini melihat Jeno semarah itu.

Nana menunduk takut.

"A-apa Nana salah Ayah? Kalau iya Nana salah, Nana minta maaf, tapi Ayah kan gak perlu bentak bentak Nana kayak tadi hiks, sakit tau hati Nana Ayah bentak kayak tadi" ujar Nana yang pada akhirnya menangis setelah sekian lama menahan tangisnya.

Jeno menuntun Nana untuk kembali duduk duduk di sofa.

"Udah Ayah peringatkan bukan sebelumnya kalau jangan bicara hal-hal yang tidak berfaedah seperti tadi, tapi Nana bengal! Nana masih belum waktunya tau hal hal seperti itu!" Tegas Jeno.

"Tapi kan ayyah bisa ngomong baik baik sama Nana!" Balas Nana tak terima.

"Gak, dari awal udah Ayah bilang Gak! Nana, bukankah itu sudah jawaban yang baik? Bukankah juga sudah Ayah peringatkan sebelumnya untuk jangan membahas tentang itu, kenapa ngeyel?" Ujar Jeno.

Nana menunduk dalam.

"Liat Ayah kalau Ayah lagi ngomong" tegur Jeno.

"Hiks Ayah kok gitu, Ayah kayak gak sayang lagi sama Nana? Kalau nanti tunangan Ayah datang, Nana gak bakalan main kok rumah Ayah, Nana bakalan kasih waktu kok buat ayah, tapi Ayah jangan gini sama Nana" ujar Nana pilu.

"Tunangan tunangan tunangan! Apa Nana sebahagia itu mendengar tunangan Ayah mau datang? Ayah gak ada minta Nana buat gak datang kerumah! Itu hanya akal akalan Nana saja biar lepas dari Ayah kan?" Ujar Jeno.

Nana menggeleng ribut.

"Nana gak gitu Ayah"

"Apa?! Nana pandai pandai bilang tunangan seolah Nana ngerti semua hal itu, dan Nana pandai pandai mutusin buat gak main kerumah padahal itu gak ada sangkut paut nya sama Nana" ujar Jeno.

"Nana gak mau ganggu Ayah!" Balas Nana cepat.

Jeno mengangguk paham.

"Oke kalau itu mau Nana" ujar Jeno.

Jeno merogoh saku celananya dan menghubungi abangnya.

"Hallo bang, jemput Nana di kantor, gua lagi sibuk gak bisa di ganggu!" Tekankan Jeno.

Setelah itu Jeno menutup telponnya.

Jeno membuka pintu ruangannya.

"Bentar lagi Daddy Nana jemput, Nana bisa keluar sekarang, Ayah gak bisa di ganggu" tekankan Jeno di akhir kalimat.

Nana menatap Jeno tak percaya.

"A-ayah usir Nana?" Tanya Nana pelan.

Jeno menghela nafas.

"Bukannya tadi Nana sendiri yang bilang kalau gak mau ganggu Ayah?" Tanya Jeno.

"Tapi kan Nana bilang kalau nanti ada tunangan ayah" jawab Nana dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Ayah kan juga udah bilang kalau Nana gak ada hubungannya dengan semua itu, Nana ya Nana, tapi Nana kekeuh kan kalau Nana menganggap Nana adalah pengganggu? See, sekarang Ayah kabulkan bukan? bukti kalau semua gak ada hubungannya dengan dia. Saat ayah sendiri pun Ayah gak mau di ganggu oleh Nana. Jadi silahkan keluar" usir Jeno.

"Ayah.." lirih Nana menyesal.

Maksud Nana bukan begitu sungguh.

"Gak, lain kali setiap ucapan ayah itu di cerna, Nana jangan hanya kekeuh dengan ucapan nana sedari. Peringatan ayah, ucapan ayah semua Nana abaikan. Seolah Nana yang tau segala hal, seolah Nana yang tau apa yang akan ayah lakukan di kedepannya, seolah Nana yang tau semua tentang itu" ujar Jeno.

"Nana ya Nana, ingat itu! Dan jangan seolah paling ngerti tentang tunangan, jangan merasa paling ngerti tentang perasaan Ayah! Nana gak tau apa apa! Nana gak pernah tau perasaan Ayah!" Lanjut jeno penuh emosi.

Nana keluar dari sana sembari menangis.

Jeno menghela nafas berat.

Ia mendudukkan dirinya di kursi kerjanya.

Ia menunduk dalam dan terisak.

"Gak ada orang yang ngerti perasaan ku gak ada, bahkan orang yang ku cintai" ujar Jeno dengan suaranya yang parau.

"Maafin Ayah na" lanjut Jeno.












PonakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang