1. Ramadan; KELOMPOK MEMORI [Monica Anggun]

24 0 0
                                    

Entah sudah berapa ramadan kulalui bukan di kampung halaman, bukan di tanah air tercinta, Indonesia. Rindu tentu menyapa pada setiap sahur dan tarawih. Terutama di negara ini, aku melaksanakan ibadah lepas isya tersebut sendirian di dalam kamar, tidak di masjid bersama masyarakat sekitar.

Sebetulnya, bukan sekadar jadwal padat sebagai alasan mengapa aku tak sempat menunaikan ibadah tahunan bersama keluarga dan kerabat. Tapi apa yang tertinggal pada tarawih terakhir empat tahun silam. Ketika tiga pasang kaki berjalan sejajar menyusuri jalanan desa setelah matahari selesai menjalankan tugasnya.

Sebagaimana sahabat pada umumnya, tentu kami sudah melalui banyak hal bersama. Entah berapa tahun kami habiskan untuk tertawa dan bercanda juga berbagi nasib. Tapi siapa sangka keakraban itu dapat musnah hanya karena atensi satu orang?

Seorang gadis sebaya datang sebagai penduduk baru. Kami dekat dengan cepat sebagal teman sepermainan. Bahkan di sekolah, ia berada satu kelas dengan sahabatku. Hal sepele yang mampu membuat persahabatan kami retak begitu saja.

Mereka tampak semakin akrab, sementara aku semakin jauh di belakang. Perjalanan menuju masjid tidak lagi semenyenangkan ketika kami hanya berdua. Sampai pada hari dilaksanakannya tarawih terakhir tahun itu. Kaki membeku, tak sanggup menjadi ekor bagi sepasang teman dan topik obrolan mereka.

Memang beberapa hari terakhir aku tidak bisa Ikut kumpul karena menemani bapak di rumah. sakit. Penyakit yang beliau emban semenjak belia kini semakin memburuk akibat putaran waktu tanpa jeda.

Tak ada yang mengharapkan idul fitri terakhir bersama bapak. Tapi tuhan berkata bahwa bapak sudah cukup bahagia dengankepulangan anak pertamanya yang sudah merantau selama tiga tahun belakangan. Idul fitri terbaik bagi kami sekaligus yang terburuk.

Tepat hari raya kedua, nafas bapak tersendat lepas subuh. Abang hendak menghubungi ambulan ketika terdengar suara lirih bapak mengucakpan lafazlafaz suci. Mata sayu penuh kebahagiaan itu tak pernah terbuka lagi setelahnya.

Ketika kabar gundah itu tersebar ke seluruh kampung, aku tak melihat kedatangan sahabatku meski hanya sekedar menyampaikan belasungkawa. Dengan teknologi, aku bertanya kemana ia pergi padahal tubuh bapak sudah selesai dikebumikan? Dari jaringan telepon, dengan santai ia berkata bahwa teman baru kami butuh seseorang untuk mendampinginya menuju kota, membeli sesuatu titipan sang ibu.

Jelas kecewa dan geram mengalir di pembuluh darah. Pasalnya, mereka baru berangkat setelah ketua desa mengumukan kepergian bapak pada khalayak. Tak bisakah ia datang untuk menemani sahabatnya barang sesaat?

Dengan didasarkan dua kesedihan, aku berani mengutarakan rencana untuk meninggalkan negeri dan melanjutkan studi dengan prestasi, seperti tawaran bu guru beberapa bulan lalu.

Famili mendukung asumsiku tanpa curiga tentang kenapa. Terhitung sudah empat kali aku meninggalkan hari paling berat sepanjang hembusan nafas bukan di tempat kejadian. Negara yang menaung kesedihanku sekaligus melupakannya dengan berbagai kesibukan baru. Namun tetap tak bisa menghapus seluruh kenangan dari catatan


END

Antologi cerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang