Napas memburu. Bulir peluh berbaur dengan darah dari setiap luka tidak kuhiraukan. Cengkaman pada bambu runcing kian erat. Atensi menatap tajam pada puluhan penjajah lima belas meter di hadapan. Asa pada jiwa membakar tekadku--membalas dendam pada para penjajah kejam.
"Menyerahlah kalian Indonesia! Kami sudah mengetahui setiap rencana kalian!"
"Sekalipun nafas kami tidak lagi membumi, kami tidak akan pernah menyerah!" seruku lantang.
Senapan para penjajah kembali menyerang pejuang Indonesia. Dengan gesit aku berlindung. Rungu menangkap secara nyata teriakan para pejuang sebab gagal menghindar dari timah panas yang menghajar.
"Asal kalian tahu Indonesia, kami telah lama menempatkan sekutu kami di antara kalian, untuk mendapat informasi dari kalian sebanyak-banyaknya! Ha...ha...ha..."
Aku terdiam mendengarnya. Seorang penghianat di antara kami? Tapi siapa? Detik berikutnya ledakan granat di lokasi para penjajah menumbangkan mereka satu persatu. Dan pelaku di baliknya merupakan seseorang yang amat kukenali, bahkan telah kuanggap sebagai saudaraku sendiri.
"Aito!? Apa maksudmu menyerang sekutu?"
Seruan salah seorang penjajah itu membuat tubuhku gemetar menatap Aito. Dia... saudaraku... adalah seorang sekutu jepang?
"Aito, apa maksudnya ini?" pertanyaanku terendam oleh teriakan pejuang yang kemudian terkapar.
"Maaf."
Kemudian Aito melesat menyerang puluhan personil jepang bermodalkan senapan.
Setelah senjata itu memuntahkan seluruh isi peluru, Aito melemparnya, lantas menghajar penjajah dengan tangan kosong, tak mengindahkan setiap luka di sekujur tubuh.
Sementara aku terus menyerang bermodal bambu runcing. Situasi yang terjadi cukup jelas menjelaskan bahwa Aito kini menjadi sekutu Indonesia.
'Doorr..' Peluru itu tepat menancap di perut Aito, membuatnya mencapai batas akhir.
Aku menghampirinya. "Aito, tolong bertahanlah! Aku akan memanggil bantuan!"
Namun, Aito menggeleng sembari tersenyum seolah mengatakan agar aku merelakan dirinya. Pada detik terakhir, Aito berujar yang berhasil membuatku menangis getir sembari mendekap tubuh tanpa nyawanya.
"Terima kasih, saudaraku... meski hanya sesaat, aku tidak pernah menyesal memihak Indonesia pada masa akhir hidupku"
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi cerpen
Historia CortaAntologi cerpen karya siswa/siswi ekstrakurikuler Reka-Pustaka SMAN4 Sukabumi "Jangan biarkan kata-kata terperangkap dalam pikiran. Biarkan mereka terbang bebas melalui tulisan. " @rekapustakasmanpat