Pahitnya Kejujuran

5 4 1
                                    

Memang hubungan ku dengan Agam sedang dalam masa yang renggang. Disebabkan karena sikap nya yang mulai berubah dan beralasan jika ditegur. Mungkin firasat ku memang benar? Dan apa yang Artayana sering bilang pada ku adalah kenyataan nya bahwa Agam bukan lah laki - laki yang baik. Namun, aku tetap saja menepis segala hal yang mencoba menjauhkan Agam dari ku.

Artayana memang selalu saja mengungkit - ungkit mengenai hal yang pernah ia katakan. Itu membuat ku jenuh dan semakin memaki nya untuk diam. Karena bagi ku, ia tidak berhak menghakimi orang lain. Aku masih saja diam dan itu membuat nya mulai membenci ku dan memberi ku ruang untuk sendiri. Sejak itu aku merasa ia mulai menjauhi ku. Mungkin ia bosan? Bosan mengingatkan ku yang ia tahu aku pasti akan memarahi nya.

Agam terlihat ingin menjauh dari ku. Ia tidak mengabari ku selama beberapa hari membuat hidup ku semakin berantakan. Aku menangis tiada henti, aku tidak mau untuk beranjak dari kasur, dan hanya menyalahkan diri. Aku tidak tahu mengapa Agam begitu tega melakukan hal ini pada ku. Padahal ia sudah berjanji tidak akan meninggalkan ku dalam keadaan apapun dan berjanji akan menua bersama ku. Bahkan, ia juga menyuruh ku untuk menunggu nya sampai ia menjadi polisi. Tapi mengapa semua nya harus menjadi seperti ini?

Aku sangat membenci firasat ku, membenci mimpi ku. Mengapa firasat itu harus ada menghampiri ku? Mengapa mimpi itu harus muncul di kala ku sedang tertidur lelap? Mengapa semua nya tidak datang pada ku dengan keindahan dan kebahagiaan? Mengapa justru menghampiri ku dengan penuh siksa dan tangisan? Mengapa perasaan harus ada jika akhirnya akan dikecewakan?

Aku hanya terus membenturkan kepala ku ke dinding dan memaki - maki diri sendiri. Aku mengobrak - abrik barang yang ada di dekat ku. Aku tidak ingin merasakan hal ini, ini terlalu menyakitkan untuk ku. Aku tidak kuat merasakan sesak dalam dada dan nangis tanpa suara. Aku merasa ini tidak lah adil. Mengapa harus aku yang merasakan ini? Mengapa bukan Agam saja?

Mungkin, jika dahulu aku mengikuti saran dari Ila dan Artayana aku tidak akan merasakan hal seperti sekarang. Dan mungkin jika aku masih bersama dengan Putra, aku akan terus menjadi perempuan paling bahagia karena kasih sayang nya yang tidak pernah membuat ku merasa sakit sedikit pun. Aku menyesal, namun aku sudah melangkah jauh dari masa itu. Tidak pantas bagi ku jika aku harus menyerah. Bukan kah diri ku sendiri yang ingin membuktikan pada semua orang bahwa Agam tidak seperti yang mereka katakan? Lalu mengapa kali ini rasanya aku sangat ingin kembali ke masa lalu dan tidak ingin mengatakan hal itu pada Ila, Artayana, atau bahkan orang lain.

Mungkin memang kenyataan nya Agam menyimpan banyak kebohongan dari ku. Sesuai apa yang ada dalam firasat ku. Namun, aku akan tetap terus membuktikan bahwa Agam adalah laki - laki yang memang di takdirkan untuk ku. Laki - laki yang tercipta untuk ku hingga ajal ku tiba nanti. Dan Agam adalah laki - laki yang bisa sukses dengan usaha nya, tanpa menjatuhkan orang lain atau bahkan dengan cara yang tidak baik. Hanya itu yang bisa aku harapkan dan aku usahakan.

===

"Lea, maaf ya aku baru sempat kasih kamu kabar. Aku tidak punya paket internet, ini saja aku hotspot ibu ku"

"Iya tidak apa, Gam"

"Lea lagi apa? Sudah makan?"

"Lagi tiduran aja, sudah kok"

"Maaf ya Lea kalau kamu kepikiran aku, aku benar - benar tidak ada paket internet"

"Iya tidak apa, Gam. Aku paham kok"

"Makasih sayang"

"Iya, Gam"

Lalu, Agam menghilang tiba - tiba tanpa kabar. Ia tidak berpamitan pada ku jika ia ingin meletakkan ponsel nya. Aku hanya terus menangis membohongi diri. Aku tidak ingin mengatakan pada Agam jika aku terluka oleh sikap nya. Mengapa ia terlihat sangat berbeda? Apa yang sebenarnya sedang ia sembunyikan dari ku? Aku tidak mengerti.

Inikah yang Kau Sebut Kasih SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang