10

113 23 46
                                    

Jimin.

Aku senang bisa jauh dari Yeorin. 

Di masa lalu, pertemuan kami cukup menghibur karena kecanggungan dan rasa sukanya padaku. 

Aku telah menyaksikan dia yang polos menggoda dengan rasa geli tetapi tidak pernah menganggapnya serius. Dia masih kecil dan aku tidak bisa membayangkan dia sebagai wanita dewasa, apalagi istri ku. Kehidupan kami bersama merupakan konsep abstrak.

Pada pertemuan terakhir kami, aku telah melihat adanya perubahan, dan sekarang hal itu tidak mungkin diabaikan.

Aku memperhatikan Yeorin, bukan karena dia pantas mendapatkan perhatian ku karena rencana masa depan kami bersama. 

Tidak.

Aku memperhatikan lekuk tubuhnya, dan wajahnya yang cantik. Yeorin bukan anak kecil lagi. Dia adalah seorang wanita muda dengan tubuh yang diinginkan. Sekarang, rayuannya tidak tampak lucu atau seperti permainan. Rasanya seperti sebuah janji tentang apa yang akan segera ku raih, sebuah godaan yang berbahaya.

Aku bukan pria yang bertindak berdasarkan dorongan hati atau mengikuti dorongan seksualnya tanpa berpikir dua kali, tapi fakta bahwa Yeorin menggodaku ketika dia masih terlarang membuatku gelisah. 

Aku tidak menikmati perasaan menjadi budak naluriku, tapi saat aku melihat tubuh Yeorin, bagian tubuh tertentu pasti memiliki kekuatan lebih dari yang lain.

Rumah itu sunyi dan gelap ketika aku berjalan menuju kamar Jihwan. Dengan hati-hati aku membuka pintu dan mengintip ke dalam.

Jihwan tertidur, punggungnya menghadap ke arahku. Dia masih adik perempuanku, masih seorang gadis kecil di mataku, yang bertentangan dengan persepsiku tentang Yeorin yang usianya hampir tidak lebih tua.

Aku menutup pintu lagi dan kembali keluar karena aku berjanji untuk kembali.

Saat aku melangkah keluar ke teras, tubuhku menegang mendengar suara langkah kaki namun menjadi rileks saat Yeorin muncul di hadapanku. Dia melilitkan handuknya di bahunya, dan aku bersyukur atas hal itu.

"Apakah kau menuju ke tempat tidur?"

Dia menggelengkan kepalanya. “Sebenarnya, aku sedang mencarimu.”

Alisku terangkat. Cara dia mengatakannya membuatku kesal. Sulit untuk melihat wajahnya dalam cahaya redup, tapi aku merasa dia sedang menggodaku.

“Mungkin kita bisa jalan-jalan?”

“Oke,” kataku perlahan, tidak ingin menyangkalnya meskipun menurutku menjauh dari yang lain bukanlah ide yang bagus. 

Yang membuat otakku tidak senang dan tubuhku senang, Yeorin menjatuhkan handuknya ke kursi lalu berjalan menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok di sekitar rumah. 

Aku mengikutinya, berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan pantatnya yang berbentuk buah persik dengan celana bikini mungilnya. 

“Apakah ada hal spesifik yang ingin kau diskusikan denganku?”

Yeorin berhenti dan menatapku. Dia tampak gugup. 

“Aku hanya ingin berduaan denganmu. Kita bertunangan dan akan segera menikah, tapi kita tidak pernah sendirian. Kita tidak pernah benar-benar mendapat kesempatan untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik.”

Yeorin mungkin bersungguh-sungguh dengan cara yang sangat polos, tapi mau tak mau aku membayangkan semua cara yang ingin kulakukan untuk mengenalnya, terutama saat tatapanku mengarah ke putingnya yang tegak dan menempel pada kain basah atasan bikininya. 

“Kita akan punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain setelah kita menikah. Sendirian denganmu seperti ini melanggar aturan kita.”

Yeorin mengangkat bahu seolah itu tidak penting, tapi bagiku itu penting. Kami tidak membutuhkan skandal lagi. Bencana Yunji telah menyebabkan cukup banyak keributan.

Him & iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang