20

160 25 15
                                    

Yeorin.

Aku terbangun dengan kehadiran hangat di punggungku. 

Aku butuh beberapa detak jantung untuk mengingat di mana aku berada dan siapa orang di belakangku. 

Jimin memelukku dan aromanya mengelilingiku. Aku senang dipeluk olehnya. Itu adalah hal yang selalu ku dambakan, dan sampai saat ini masih tetap seperti itu.

Tidurku pun gelisah, mengulang kejadian hari sebelumnya. Aku telah mencoba banyak hal untuk mendapatkan perhatiannya selama bertahun-tahun, namun seranganku terhadap harga dirinya yang terluka telah menarik perhatiannya sepenuhnya. 

Kemarahan dan keputusasaannya telah menghantamku bagaikan gelombang pasang, hampir meninggalkanku begitu saja. 

Kemarahannya bukan yang kuinginkan, tapi itu lebih baik daripada alternatif lain, lebih baik daripada jaraknya yang sopan, ketidaktertarikannya yang memilukan. Aku ingin dihormati dan dicintai, tapi lebih dari itu, aku ingin dilihat, untuk memegang kendali sekali saja. Memancing Jimin, memaksanya bereaksi, telah memberiku kendali sesaat.

Hanya sedikit hal dalam hidup ku yang berada dalam kendali ku. Bukan hidupku, bukan masa depanku, apalagi hatiku. 

Aku mengedipkan mata melawan terangnya sinar matahari pagi. Meskipun kata-kataku kasar, karena provokasiku, Jimin telah menarik diri. Bahkan dalam kemarahan yang merajalela, dia tidak mengakuiku. 

Aku sudah selesai. 

Jika dia tidak menginginkanku, maka itu masalahnya. Aku tidak akan mencoba menarik perhatiannya lagi. Namun, aku tidak menyesal tadi malam. Hal ini membuatku merasakan kehilangan terakhir, seolah aku bisa melepaskan Jimin dan harapan kekanak-kanakanku akan cinta. 

Aku sudah selesai merindukannya.

Aku berbalik. 

Jimin berguling telentang, masih tertidur. Rambutnya ada dimana-mana. Dia tampan. Selimut menggenang di pinggulnya, memperlihatkan dadanya yang berotot dan sedikit rambut menghilang di celana boxernya. Dilihat dari tenda yang menutupi selangkangannya, dia terangsang.

Aku meluncur ke tepi tempat tidur dan berdiri. Aku perlu melakukan sesuatu, untuk menyibukkan diri sebelum apa yang terjadi menyeret ku ke bawah. 

Aku sudah membuat rencana dengan Seonjoo untuk bertemu saat makan siang. Ibu kami, Eunbi kecil, dan Jihwan serta ibu mertuaku juga akan hadir. Tadinya aku khawatir Jimin akan kecewa jika aku pergi di hari pertama kami sebagai pasangan suami istri, kini aku lega karena telah pergi untuk sementara waktu.

Jimin terbangun dengan kaget, berbaring di tempat tidur. “Yeorin, apa yang kau lakukan?”

Aku mengambil jubah mandiku dan menaruhnya di atas baju tidurku sebelum aku meliriknya. Aku tidak membiarkan tatapan kusutnya menghangatkan hatiku, menutupnya dengan setiap kendali diri yang kumiliki. 

“Aku akan mandi, lalu pergi mencari sarapan.”

Aku memaksakan senyum dan menuju kamar mandi tetapi sebelum aku bisa menutup pintu, Jimin sudah melintasi ruangan dan menahan pintu tetap terbuka.

Dia mengamati wajahku, terlihat begitu bingung hingga sebagian kemarahanku hilang, tapi sisanya aku pertahankan. Aku tidak ingin memaafkannya.

“Jangan menghindariku. Kita perlu bicara."

"Berbicara tentang apa?"

“Tentang tadi malam, tentang pestanya, tentang pernikahan kita dan apa yang kau harapkan ikatan ini. Kita berdua adalah bagian dari pernikahan ini, dan aku tidak akan membiarkanmu lari darinya.”

Him & iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang