01. Tanggung Jawab

426 46 5
                                    

“Kamu pernah minta pindah sekolah di tahun akhir SMA, aku mengabulkan keinginan kamu saat itu karena alasan yang masuk akal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kamu pernah minta pindah sekolah di tahun akhir SMA, aku mengabulkan keinginan kamu saat itu karena alasan yang masuk akal. Sekarang, izin pindah ke rumah nenek di Singapura dan kuliah di sana, aku pun mengabulkan permintaan kamu, Ewil Agasi Putra.”

Agasi mengajak putranya, Ewil, bicara di teras samping sesampainya di rumah sepulang bekerja.

Eh waktu itu lo pindah sekolah demi gue kan? Haha

Ewil, di tengah kegiatannya bicara dengan Renu melalui telepon saat Agasi memanggil. Tanpa memutus hubungan, dia membawa handphone bersamanya. Sebuah pesan muncul, memberi komentar kepada perkataan Agasi.

“Kamu harus bertanggung jawab sama semua pilihan kamu. Jangan mengambil keputusan hanya untuk menyenangkan orang lain.”

Kali ini kuliah di singapur karena gue juga kan?

“Takutnya kamu menyesali keputusan kamu saat orang itu ga puas sama pilihan kamu demi dia.”

Kalo berhubungan sama masa depan, lo ga harus ngambil keputusan demi gue Ewil Agasi Putra sayang...

Waktunya hanya beberapa detik untuk membaca pesan itu sebelum layar kembali gelap. Dia melihat dengan apa yang tertera pada kata terakhir pada kalimat di sana. Membuat ujung rongga perut tergelitik, menyuruh sudut bibirnya tersenyum.

“Ehhmmm.” Ewil berdeham menutupi senyuman sintingnya. “Ada beberapa alasan kenapa aku mutusin kuliah di sana,” ucapnya. “Tapi, semuanya karena diri aku sendiri.”

Masa?

Karena aku perlu dekat dengan Renu, tambah Ewil di dalam hati.

Kalo semua demi gue, tiba2 kita putus, lo bakal nyesal terus do dari kampus ga?

Dahinya berkerut. Dia tidak suka sensasi yang ditimbulkan oleh pesan Renu kali ini.

“Kamu itu ga bakal semangat ngerjain sesuatu kalau ga ada imbalan,” sindir Agasi. “Aku ga yakin kamu memilih kuliah di Singapura karena diri kamu sendiri.”

“Renu di sana kan?” tambah Agasi.

Ewil mengangguk.

Wkwwk bokap lo terlalu kenal sama lo

“Apa karena Renu?”

Bibirnya meringis. “Iya. Salah satunya.”

“Kalau berantem lagi?”

“Aku ga bakal DO dari kampus cuma karena berantem sama Renu,” tegas Ewil.

“Pegang kata-kata kamu,” ucap Agasi. “Ingat, aku minta ke kamu selalu bertanggung jawab sama keputusan kamu.”

Ewil terdiam, keputusannya yang diyakini benar, tiba-tiba bergetar dan berubah menjadi sesuatu yang berat di dalam benaknya.

Apa dia seorang penakut ketika pilihannya diketahui orang lain dan dituntut bertanggung jawab?

Berikrar kepada diri sendiri memang mudah saat tak ada saksi, tapi itu menjadi beban saat ada orang lain yang mengetahui.

“Manusia itu harus mengakui kekurangannya terlebih dahulu sebelum bisa berubah,” ujar Agasi. “Kalau ga mau terus-menerus mengganti keputusan hanya karena hal sepele, maka kamu harus belajar mengatasi masalah kecil itu sebelum mengatasi masalah yang lebih besar.”

+ +

“Gimana perasaan lo setelah dikasih petuah sama bokap lo?”

Renu dan Ewil melanjutkan obrolan mereka. Ewil kembali ke kamar dan mengunci pintu. Dia tidak marah kepada Agasi, dia justru merenungkan perkataan ayahnya. Lama terdiam dengan handphone menempel di daun telinga.

“Ewil?” panggil Renu.

“Gue se-impulsif itu, ya?”

“Semua yang dilakukan manusia punya tujuan, Wil. Kalo semua tujuan tindakan lo demi gue, jelas salah.”

“Kenapa?”

“Gue bukan Tuhan.”

“Alasan lainnya?”

“Bukan karena lo suka sama gue, semua yang lo lakuin demi gue,” ucap Renu. “Emang hidup lo ga ada hal lain? Kata nyokap gue, pacaran itu dijadiin penyemangat hidup. Kalo pacaran bikin lo kehilangan hidup lo sendiri, mending ga usah pacaran.”

“Menurut lo itu kekurangan gue?”

“Menurut lo sendiri?”

“Gue mau berubah, Ren.”

“Kalo gitu, gue mau jadi penyemangat lo berubah,” ucap Renu riang di seberang sana.

“Gimana caranya?”

“Gimana kalo selama kita pacaran, kita punya punya perjanjian?”

“Perjanjian apa?”

Belum punya ide, yang jelas harus menguntungkan kita berdua selama pacaran. Hee ....” Renu tertawa. “Nanti kita pikirin. Sekarang gue balik ke apart bokap dulu. Gue tutup teleponnya, ya?”

“Naik bus?”

“Iya.”

“Ya udah. Bye, Ren.”

Bye!”

Ewil mengerucutkan hidung. Dia merasa kurang puas terus bicara dengan Renu di telepon dari siang. Sebagian barang sudah dikemas. Satu minggu lagi kepindahannya ke Singapura. Rasanya terlalu lama menunggu bisa bertemu Renu setiap hari

+ +

+ +

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
What We are Worried AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang