04. Ketahuan

286 44 3
                                    

Bukan menonton film sampai dini hari, mereka terus berbincang dari A ke Z lalu kembali lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan menonton film sampai dini hari, mereka terus berbincang dari A ke Z lalu kembali lagi. Membicarakan remah-remah tak penting dan juga hal-hal yang dulu tak pernah diungkit. Kesalahpahaman di masa lalu yang menyakiti, atau kejujuran Ewil yang selama ini sibuk cemburu sambil menerka-nerka mana yang jatuh kepada pesona pacarnya, Renu.

“Gue cuma menebak dia suka sama lo, sedangkan lo tau dia suka tapi lo pura-pura ga tau—lo selalu kayak gitu,” hardik Ewil. Kedua matanya memicing, mengancam tawa geli Renu untuk segera berhenti. “Pura-pura bego. Ngebiarin orang yang suka sama lo keenakan tetap dekat sama lo.”

“Kalo gue bersikap tau dia suka sama gue, ntar canggung,” Renu membela diri.

“Lo selalu kayak gitu.” Ewil memukul pelan paha Renu, membuat tawa cowok itu semakin panjang. “Ga mau kehilangan teman.”

“Gue perlu membangun relasi sama banyak orang, Wil,” ujar Renu. Menarik tangan Ewil dan menggenggam. “Selagi ga ngebiarin mereka nyentuh gue, ga masalah kan?”

“Masalah, Ren. Semua masalah bagi gue. Dari cara lo ketawa sama mereka. Duduk lo bersebelahan sama mereka.”

Renu tidak bisa menghentikan tawanya. “Gue tau batasan. Tenang.”

“Gue tau lo tau batasan, mereka yang sering keterlaluan.”

“Mereka ngapain emang?”

“Natap lo kelamaan.”

“Babi emang.” Renu mendorong Ewil yang ingin memeluknya. “Ga sadar diri. Tiap lo futsal, banyak cewek natap lo berjam-jam di pinggir lapangan.”

“Masa?”

“Kan, pura-pura bego.”

Ewil tersenyum, lalu melanjutkan peluknya. “Penonton favorit gue itu cuma lo.”

“Pantas, diajak ke lapangan meski ga ikut main.”

“Gue posesif dari dulu tapi denial mulu suka sama lo.”

“Baru ngaku sekarang lo.”

“Dulu gue banyak denial-nya, Ren. Ga terima sama perasaan gue sendiri. Minta validasi ke Eno atau Deri. Apa-apa ragu dulu.”

“Sekarang kan ga gitu.”

“Beruntungnya,” gumam Ewil. “Sekarang gue bersyukur bisa mengutarakan pikiran dan perasaan gue ke lo tanpa takut ditolak.”

“Sebenarnya gue ga pernah nolak lo, Wil.” Renu melepas pelukan dan memainkan jarinya. “Meski ga ngerti futsal gue ikut ke lapangan, lama-lama gue ikut main sesekali setelah cari tau cara main. Dari dulu gue senang diajak ke mana pun asal perginya sama lo. Waktu pura-pura pacaran pun gue mau-mau aja nurut perkataan lo. Ngerti ga? Semua itu biar gue tetap bisa main sama lo.”

Ewil mendekat dan bersandar pada bahu Renu. Mereka masih bersandar pada boneka kelinci besar.

“Maaf.”

What We are Worried AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang