Gula-gula

52 12 2
                                    

Minggu ke-tiga bulan Juli menyambut diriku dengan hangat. Tidak, bukan bulan Juli alasan kehangatan itu ada, tapi dia.

Dia datang layaknya sang mentari yang menghangatkan sang semesta dengan sinarnya. Kehangatannya yang menyergap secara tiba-tiba dan tak terduga, membuatku selalu ingin berada di dekatnya.

Akan tetapi, bukankah kehangatan sang mentari perlahan tergantikan oleh dinginnya malam? Bahkan sang semesta pun tidak bisa berbuat apa-apa, ketika kehangatan yang ia rasakan berubah mengikuti sang waktu.

"Pria aneh. Kenapa kita jadi sering bertukar pesan seperti ini? Bukannya, dari awal niatnya hanya untuk urusan pekerjaan? Dan anehnya lagi, kenapa aku malah senang?"

Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau terlibat cinta dengan perbedaan usia yang cukup jauh. Lagipula, mana mungkin pria dewasa seperti dia mau dengan remaja labil sepertiku, kan?

Belum ada hitungan menit aku mengelak kedekatan kita, dia datang dengan senyuman konyolnya.

"Ini, buat kamu."

Aku memandanginya yang masih tetap tersenyum dengan se-kotak dessert kecil di tangannya. Sial, kenapa aku berpikir bahwa senyuman konyolnya itu menawan?

"Makasih, dalam rangka apa?"

"Dalam rangka apa ya? Enggak tau juga," jawabnya yang masih setia dengan senyuman konyol di wajahnya.

Dan sialnya lagi, senyuman yang ku anggap 'konyol' itu seakan menular. Aku, ikut tersenyum. Perasaan hangat menjalar di dadaku. Ah, kehangatan ini, benar-benar menyenangkan.

"Aku juga punya sesuatu," ujarku sembari mengambil sesuatu di dalam tas ku.

"Apa?"

Aku mengeluarkan beberapa buah gula-gula untuknya. "Buat kamu."

Dan lagi-lagi, dia tersenyum. Ah, Tuhan! Bahkan aku sangat yakin, dessert yang dia berikan kepadaku tadi akan kalah manisnya dengan senyuman yang terukir di wajahnya.

"Makasih, ya."

Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum. "Sama-sama, itu cuma gula-gula."

"Manis."

Eh? Gula-gula nya kan maksudnya?

"Iya, gula-gula kan memang manis," jawabku sekenanya.

"Bukan soal gula-gula, tapi ini." Dia menyodorkan ponsel miliknya.

Ah, ternyata dia mengabadikan momen saat aku memberikan gula-gula kepadanya.
Dia... tipikal pria yang tau fungsi kamera belakang, ya?

Dia menarik kembali ponsel miliknya secara perlahan. "Lucu, ya?"

"Ah, iya." Aku benar-benar kehabisan kata. Dia sangat lucu. Aku bisa merasakan pipiku yang memanas dengan sendirinya.

Dia mengarahkan ponsel miliknya ke arahku. "Liat sini, coba."

Tau dia ingin memotret ku, aku pun memutar bola mataku dengan bibir yang ku buat seolah-olah sedang mengejeknya. Dan ya, terpotret.

Sontak tawa nya pun terdengar mengisi ruangan ini. Seakan tersihir, aku pun ikut tertawa. Kita tertawa dengan lepas, seolah melepaskan rasa lelah yang kita simpan saat ini.

"Kamu lucu. Tiap kali kamu ketawa, mata mu enggak kelihatan," ujarnya dengan kekehan ringan dan gelengan kepala.

"Hey, kamu pikir kamu engga? Kamu juga sama. Kita sama!" sahutku spontan.

Dengan senyuman usil tercetak di wajahnya, dengan sengaja ia bertanya. "Kita, ya?"

Sontak saja pertanyaan itu membuatku salah tingkah. "Iya, kan aku dan kamu itu kita."

Glasses ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang