Selepas mandi dan bersiap diri, tawa ringan pun terdengar dari arah ruang tamu. Tapi, anehnya, aku mendengar tawa Bapak. Apakah itu artinya... dia berhasil mencuri hati Ayahanda tercinta?
Aku memastikan kembali penampilanku di depan cermin dan menyemprotkan parfum ke tubuhku sebanyak-banyaknya. Biarkan sajalah kalau dia termabuk, yang penting aku tidak bau. Ah, tapi aku tidak siap menerima cuitan usil dari Ibu perihal wangi yang menguar dari diriku.
Kulangkahkan kaki dengan perlahan menuju ruang tamu. Oh, Tuhan... aku grogi. Sudah lewat delapan bulan, namun debarannya masih sama. Dulu, pikirku kalimat yang cocok ialah——degup kita pernah seirama——tapi ternyata, sampai saat ini pun degup kita tetap seirama.
"Kamu mandi parfum? Wangi banget. Duduk sini, Ibu mau buatkan minum dulu. Kamu mandi lama banget kayak semedi," ujar Ibu yang kemudian melenggang pergi menuju dapur.
Aku hanya menggaruk pelipisku pelan seraya melemparkan cengiran andalanku sebagai respons.
"Kamu dulu ternyata waktu kecil suka ngancem anak kecil lain pakai kepalan tangan, ya?" ujar pria itu seraya menahan tawanya.
Sontak mataku menatap mata Bapak dengan garang. Hey! Itu namanya merusak citra yang sudah kubangun sedemikian rupa! Ah, Bapak... itu kan aib masa kecil!
Melihatku memberikan tatapan garang, Bapak pun tertawa lepas, diikuti pria berkacamata di sampingnya.
Memalukan.
"Flory itu, Nak Farlan, waktu kecil setiap kali diajak pergi kemana selalu aja minta pulang. Nggak betah dia kalau lama-lama di luar. Sampai sekarang pun masih sama," ujar Bapak.
"Iya, Pak. Katanya, energinya terkuras banyak kalau di luar. Hadeh, ada-ada aja," timpal pria itu diiringi tawa.
Aku merengut. "Ini kenapa malah kayak ajang kompetisi buat ngebully aku?!"
"Kamu bully-able soalnya," celetuk Ibu yang datang dari dapur.
Mereka bertiga pun tergelak. Tentu saja tanpa aku, karena aku korban di sini.
"Jadi... ada keperluan apa ke sini, Nak Farlan?" tanya Bapak setelah tawa mulai mereda.
Uh! Seketika suasana menjadi tegang!
Pria itu berdehem. "Kedatangan saya ke sini, bermaksud untuk berkenalan secara langsung dengan Bapak dan Ibu selaku orang tua dari Flory——juga ingin menyampaikan itikad baik saya untuk menjadikan Flory sebagai pendamping hidup saya kelak."
"Istri saya bilang, kamu itu karyawan di tempat anak saya praktik dulu. Benar?"
Dia mengangguk. "Benar, Pak."
"Kalian beda berapa tahun?" tanya Bapak.
"Sepuluh tahun, Pak," jawabnya dengan mantap.
"Sepuluh tahun?" Bapak memegang dagunya dan nampak menghitung.
Bapak menoleh ke arahku. "Kamu umur berapa, sih? Bapak lupa."
Astaga! Bapak mana yang lupa umur anaknya sendiri?!
"Bapak lupa?! Tahun baru kemarin kan aku ulang tahun!"
"Oh! Lima belas tahun, ya?!"
Aku merengut. "Delapan belas tahun, Bapak!!!"
Tak mau disalahkan, Bapak malah berdecak sebal. "Ngomong dong daritadi!"
"Berarti kamu umur? Dua puluh delapan tahun?" tanya Bapak tertuju ke arah pria itu.
Lagi-lagi dia mengangguk. "Iya, Pak, saya umur dua puluh delapan tahun."
Bapak menghela napas pelan. "Nak Farlan, Flory baru saja lulus, masa depan anak saya masih panjang. Flory juga masih labil, emosinya belum stabil, mentalnya belum siap. Saya rasa, ini terlalu cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glasses Man
RomanceTentang aku, kamu, dan waktu. __________________________________ "Mas Farlan? Makasih, ya!" "Buat?" "Enggak tau juga, makasih aja." "Iya, sama-sama cantikku." __________________________________ Dia datang layaknya sang mentari yang menghangatkan san...