"Flor—"
"Apa?! Mau tanya soal es krim lagi?!" potongku dengan sewot.
Pria berkacamata yang berdiri di ambang pintu itu pun mengusap dadanya, terkejut.
"Enggak, kok. Aku bawainnya coklat lucu kali ini, nih," katanya sembari menyodorkan coklat yang ia maksud.
Aku melirik coklat mini yang berbentuk... hmm? segitiga tapi agak lonjong? Ah, bukan-bukan, lonjong tapi agak segitiga.
Coklat yang dibalut dengan bungkusan warna ungu dan terlihat lucu itu berpindah dari tangannya ke tanganku.
Lucu, sih. Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa harus disaat kita sudah tidak memiliki kita? Kenapa?
"Kamu ingat kan kalau kita udah nggak sama-sama lagi?" tanyaku.
"Ingat."
"Terus? Kenapa sekarang kamu balik lagi seolah-olah nggak terjadi apa-apa sebelumnya?" Aku menatapnya lekat.
"Aku... nggak tau, Flor. Semuanya jadi berasa salah. Everything is remind me of us—"
Dia menghembuskan napasnya pelan.
"—I miss you, it hurts," lanjutnya.
"Kamu yang mengakhiri semuanya, Mas. It's totally your decision," ucapku.
"I know, but can we try one more time?"
"Dan apa? Akhir ceritanya akan tetap sama aja, Mas. Kamu sendiri yang bilang umur kita terlalu jauh, kamu dituntut untuk segera menikah, dan aku masih harus mengejar cita-citaku, kan?"
"Iya, waktu itu aku ngerasa buntu, Flor. Aku enggak bisa mikir jernih—"
Ah, suaranya terdengar menyedihkan. Tapi aku tidak boleh goyah.
"—oh Gosh... I need you so bad, comeback, please?" lanjutnya.
Hatiku merasa teriris mendengar suaranya yang parau dan terlihat frustasi. Tapi lagi dan lagi aku meyakinkan diriku untuk tidak luluh begitu saja dengannya.
Aku masih ingat bagaimana rasanya tanganku yang bergetar hebat dan tangis yang luruh begitu saja dari mataku karenanya.
Mungkin saat ini dia terdengar menyesal. Tapi aku tidak rela jika hatiku kembali terkoyak dibuatnya. Lukaku belum sembuh. Masih basah dan pasti membekas.
"Wih! Ada apa nih? Lagi les bahasa Inggris, ya?" celetuk Mas Fahri yang tiba-tiba muncul.
Bapak anak tiga ini benar-benar tidak tahu situasi. Harusnya saat ini suasananya sedang melow dan penuh tangis.
"Matamu!" sahutku yang sudah lelah menghadapi pria-pria tidak jelas ini.
Dimaki sedemikian rupa olehku, yang namanya Mas Fahri tetaplah Mas Fahri. Tahu apa responnya? Tertawa terbahak-bahak.
"Ri, kamu ganggu banget, serius," ujar pria berkacamata itu.
"Dek, ajarin Mas bahasa Inggris juga dong? Mas penasaran tadi kalian ngomongin apa, Mas kira lagi les bahasa Inggris tapi kok ada yang mau nangis." Mas Fahri melirik pria di sampingnya, bermaksud menyindir.
"Pagi yang cerah main bulutangkis," ujarku tiba-tiba, bermaksud pantun.
"Cakep," sahut Mas Fahri.
"Besoknya berkebun di kampung manggis."
"Cakep."
"Nggak usah pandai bahasa Inggris juga kamu tetap yang termanis."
"Nggak nyambung sebenarnya, tapi bagus, Mas jadi makin sayang," ujar Mas Fahri.
![](https://img.wattpad.com/cover/356967466-288-k942210.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Glasses Man
RomanceTentang aku, kamu, dan waktu. __________________________________ "Mas Farlan? Makasih, ya!" "Buat?" "Enggak tau juga, makasih aja." "Iya, sama-sama cantikku." __________________________________ Dia datang layaknya sang mentari yang menghangatkan san...