Pukul 11.30, tiga puluh menit lagi sebelum jam istirahat tiba, aku terduduk di ruang arsip yang konon selalu sunyi. Yah, sebenarnya tidak sesunyi itu. Suara ketukan keyboard komputer yang kugunakan bertabrakan dengan suara musik yang diputar lumayan keras.
"Gimana?"
Aku menatap pria beranak tiga di sampingku yang tak lain adalah Mas Fahri.
"Apanya?""Kamu sama Farlan, lanjut?" tanya Mas Fahri.
"Lanjut."
Mas Fahri berdecak sebal. "Mas kabarin Seno dulu, biar dia angkat bendera kuning."
"Putih! Kuning buat orang meninggal!" sahutku.
"Sama aja, tapi yang mati bukan orangnya."
Aku mengernyit. "Terus?"
"Perasaannya!" ucap Mas Fahri dengan sewot.
Aku tertawa pelan. "Mas ngapain sih di ruang arsip? Bukannya kerja di depan malah kesini, masih suka ya sama aku?"
"Pakai nanya! Ini juga Mas masih usaha buat biasa aja ke kamu. Malah dapat kabar buruk begitu."
Aku menepuk pundaknya agak keras. "Salah sendiri tadi tanya begitu! Sakit sendiri, kan?!"
"Ya ampun, udah sih nggak usah manyun begitu," lanjutku.
"Gimana nggak manyun coba?!" protes Mas Fahri yang justru membuatku tertawa karena merasa lucu.
"Duh, maaf deh maaf. Lagipula waktu itu siapa coba yang bilang mau balik ke setelan awal yang biasa aja nggak suka-sukaan, sebatas kakak-adik doang?" ledekku.
"Ya kamu juga girang banget waktu itu pas tau Mas mutusin buat kayak gitu. Mas kan selama kamu senang, Mas juga ikut senang, walaupun pedih dikit."
"Iya-iya... sini peluk dulu." Aku merentangkan tanganku memberikan ruang.
"Halah, PHP! Nanti paling kabur," cibir Mas Fahri.
"Enggak, sini."
Mas Fahri menatapku ragu. "Beneran? Nanti Farlan gimana?"
"Ya nggak ada kan orangnya?" jawabku enteng.
Jangan ditiru, ya!
Aku hanya... bosan. Aku perlu sesuatu untuk melepas rasa penat dan jenuhku. Pria berkacamata itu sangat monoton. Ya terkadang lucu dan romantis, sih.
Tapi entah mengapa sejak kita berkomitmen untuk kembali lagi memulai segalanya sedari awal, rasanya berbeda. Dia masih priaku yang hangat, tapi seperti ada yang hilang. Entah apa.
Tunggu dulu! Aku masih menyukai pria berkacamata itu, kok. Hanya saja, rasa jenuh kerap kali dengan kurang ajarnya berlalu lalang. Dan kali ini tingkatannya sudah di atas hirarki kejenuhan.
Jadi... tidak apa-apa, kan?
"Dek?"
"Eh? Ya?"
"Jadi peluk nggak?" tanya Mas Fahri yang terlihat seperti... tersipu?
Aku tersenyum. "Jadi dong, sini!"
Mas Fahri mendekatkan diri dan membawaku ke dalam dekapannya. Seperti melepaskan segala rasa penat yang ada pada dirinya, Mas Fahri merengkuhku dengan erat.
"Mas pengen egois, Dek. Tapi Mas nggak mau kamu nggak bahagia karena keegoisan Mas. Bahagianya kamu ada di Farlan, bukan Mas. Dan Mas paham itu," ujar Mas Fahri lirih.
Aku mengusap-usap punggung Mas Fahri pelan. Kasihan, kan?
"Terima kasih, Mas Fahri."
_________________________________________________________________

KAMU SEDANG MEMBACA
Glasses Man
RomanceTentang aku, kamu, dan waktu. __________________________________ "Mas Farlan? Makasih, ya!" "Buat?" "Enggak tau juga, makasih aja." "Iya, sama-sama cantikku." __________________________________ Dia datang layaknya sang mentari yang menghangatkan san...