Dasar!

11 6 1
                                    

"Morning, sayang."

"Sayang sayang, kepalamu itu peyang." Aku menatap garang ke pemilik suara yang tak lain adalah Mas Fahri.

Mas Fahri tergelak. "Bercanda, Dek. Gimana kemarin suasana ruang arsip setelah ketidakhadiranku gara-gara diseret Mak Lampir?"

"Ya apalagi? Aku usir lah, masa iya kutahan-tahan?"

Mas Fahri berdecak. "Nggak seru, ah. Harusnya tonjok-tonjokkan."

Aku menyahut, "Mukamu aja sini yang kutonjok!"

"Nih, tonjok pakai cinta." Mas Fahri menepuk-nepuk pipinya sendiri.

"Sinting."

"Apa? Ganteng?" Mas Fahri tertawa terbahak-bahak dengan kalimat yang ia ucapkan sendiri.

Aku memutar bola mata malas. "Nyesel aku nurut-nurut aja disuruh bantu di depan sama Pak Wakhid."

"Ah, masa sih nyesel? Yang selalu ada setiap saat buat kamu kan cuma Mas, masa iya nyesel ketemu mood boster kesayanganmu ini?"

Ck. Iya lagi.

"Nggak dengar." Aku menutup telingaku menggunakan tangan.

"Katanya sih azab orang yang pura-pura nggak dengar kalau diajak ngomong orang yang lebih tua itu besok meninggalnya nggak diumumin di masjid, katanya loh ya, katanya."

"Ah! Jangan gitu!" rengekku.

"Ya kan cuma katanya," ujar Mas Fahri diselingi tawa.

"Ekhem, kerja," sindir salah satu budak korporat.

Aku dan Mas Fahri pun terdiam. Mas Fahri mengambil selembar kertas dan menuliskan sesuatu.

"Iri aja, orang-orang pada kurang hiburan hidupnya, tontonannya film action doang kali ya, Dek? Nggak ada bumbu-bumbu comedy di hidupnya," tulis Mas Fahri.

Aku menahan tawaku, juga Mas Fahri.

"Tumben pada diem," celetuk si pria berkacamata yang baru saja datang.

Mas Fahri kembali menuliskan sesuatu pada kertas lainnya dan menunjukkannya kepada pria berkacamata itu.

"Ada yang lagi sensi, nggak senang kalau ada yang bercanda seru-seruan di sini," tulis Mas Fahri.

"Kebanyakan nonton film action kali," bisik pria itu.

Aku dan Mas Fahri mengangguk setuju.

"Loh, kok akur?" sahutku yang tersadar akan sesuatu.

Mereka saling pandang dan mengangguk.

"Kemarin aku, Fahri, juga Seno udah ngobrol bertiga. Perbincangan yang cukup alot sebenarnya, tapi ada titik terang di akhir dialog," jelas pria berkacamata itu sembari menundukkan kepalanya mendekat.

"Tapi jangan dibahas di sini, nanti aja di arsip," bisiknya.

Aku menatap pria itu dan Mas Fahri secara bergantian. "Awas kalau aneh-aneh!"

"Nggak aneh-aneh, cuma aneh aja," ujar Mas Fahri.

"Komeng diam aja deh." Aku melempar Mas Fahri menggunakan bolpoin.

"Bolpoinku, Flor," ujar si pria berkacamata.

"Iya Mas Farlanku sayang, nanti diganti ya sayang ya."

Tidak, bukan aku yang mengatakannya. Tapi si bapak-bapak anak tiga. Si biang kerok.

Kini aku dan pria berkacamata itu bergidik ngeri dan berlagak seolah ingin muntah. Sedangkan sang pelaku hanya tertawa dengan sendirinya.

Sepertinya prinsip bapak-bapak anak tiga di depanku ini cuma satu, waras=opsional.




Glasses ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang