Amarah masih menumpuk di dada. Jeno tahu Renjun keluar dari ruangannya dengan kekecewaan. Jeno tidak marah karena Renjun membela Jenna, ia jelas mengerti kenapa Renjun bersikap demikian mengingat bagaimana perlakuan pihak Agnesia terhadap sang adik.
Hanya saja Jeno benci mengingat bagaimana orang-orang pongah itu membicarakan Renjun karenanya. Ia marah ketika mereka menyamakan Renjun dengan dirinya. Hanya saja Jeno tidak bisa utarakan apa yang sebenarnya ia sampaikan.
“Makhluk liar katanya”
Tidak masalah jika Jeno yang menerimanya. Ia tidak peduli jika hinaan itu terlontar padanya, karena semua memang benar adanya. Makhluk liar, rendahan seperti yang mereka ucapkan, Jeno sama sekali tidak keberatan. Tapi jika Renjun yang diperlakukan demikian, tentu Jeno tidak bisa diam.
“Kau tidak boleh bersikap seperti itu Renjun ... Bukan karena aku membencinya, tapi aku tidak ingin mereka menyamakan mu dengan diriku. Dengan makhluk liar rendahan ini”
Hari itu Kerajaan dirundung keheningan. Keadaan memanas. Baik Jeno maupun Renjun tidak ada yang memulai percakapan. Jeno yang tidak bisa mengutarakan pikirannya, sedangkan Renjun yang diliputi kekecewaan.
Bahkan kala mentari berganti tugas dengan sang rembulan, Jeno juga tidak datang ke ruangan Renjun seperti biasanya. Renjun sama sekali tidak mempertanyakan hal itu, ia pun tidak ingin bertemu Jeno untuk hari ini. Renjun tidak bisa berbohong jika apa yang Jeno ucapkan melukai hatinya.
Mengenai semua hal yang dinilai omong kosong, juga tentang sesuatu yang berkaitan dengan mimpi. Semua itu pada akhirnya hanya membuktikan bahwa di Negeri ini seseorang memang tidak diizinkan untuk menggapai apa yang ia inginkan. Terutama untuk mereka para Keluarga Kerajaan yang dituntut dengan kesempurnaan.
Sampai akhirnya hari berganti, dan pagi-pagi sekali Jeno sudah berada di depan pintu Paviliun Ratu. Langkahnya untuk masuk tertahan di sana. Renjun mungkin tidak akan senang dengan keberadaannya setelah apa yang ia ucapkan kemarin.
“Salam hormat, Yang Mulia. Apa anda ingin masuk? Biar saya kabarkan pada Permaisuri”
Jeno menggeleng. Ia tidak akan masuk ke dalam sana. “Tidak perlu. Jika Renjun bertanya kemana aku pergi, katakan aku pergi ke selatan. Jangan biarkan ia keluar dari Kerajaan, mengerti?”
Jisung mengangguk, sebagai jawaban. “Saya mengerti Yang Mulia.”
Setelah itu Jeno melenggang dari sana. Pagi ini ia harus pergi ke selatan Azure untuk menyelesaikan beberapa persoalan. Salah satunya adalah bandit yang sampai saat ini belum ditemukan. Banyak kehilangan, dan perampokan di sana, namun mereka sama sekali tidak bisa menemukan petunjuk.
Jeno sudah berusaha untuk mengutus Duke yang bertugas di sana, hanya saja mereka masih tidak menemukan penyelesaian. Sampai pada akhirnya hari ini semakin parah, dan Jeno harus melakukan rapat besar di daerah itu.
“Baginda sudah pergi?” tanya Renjun. Ia jelas tahu bahwa sedari tadi Jeno berdiri di depan pintu Paviliunnya.
“Sudah Permaisuri, beliau berpesan bahwa anda tidak diperkenankan untuk pergi kemanapun, di luar Kerajaan”
Mendengar itu, Renjun bergumam dalam hati. Memang kapan ia diperbolehkan untuk pergi ke luar? Sedari dulu larangan itu akan selalu sama.
Selama menempuh perjalanan, Jeno terus berpikir bagaimana keadaan Renjun saat ini. Sebab ia belum sempat bertemu dengan sang Istri sejak pertengkaran kemarin.
“Yang Mulia, ada yang anda butuhkan?”
Jeno masih terus menatap fokus ke luar dari jendela kereta kudanya. “Sungchan, apa kalung yang ku pinta sudah kau siapkan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW QUEEN - Noren
FanfictionMendapat keindahan mu di sepanjang hidupku adalah sebuah keberuntungan yang selalu aku syukuri di setiap detiknya. Sepanjang waktu kalbu ku menjerit, pantaskah aku yang kecil ini bersanding dengan sosok agung seperti mu. Cinta mu tak hanya memberiku...