Matahari bahkan belum sepenuhnya menampakan diri, tetapi dua sosok Pemimpin Negeri itu sudah terbangun dari lelapnya. Sang Raja yang kini bersiap untuk pergi sebagaimana rutinitasnya setelah menginap di ruangan Ratu, sedang sang pendamping diam-diam tengah menunggu Suaminya selesai dengan kesibukannya. Renjun turut terbangun begitu dirasa sisi ranjangnya sepi, namun ia berpura-pura masih terlelap takut mengganggu kenyamanan Suaminya.
“Aku tahu kau sudah bangun sedari tadi”
Sepasang iris anggur itu terbuka saat mendengar Suaminya menyadari bahwa Renjun telah terbangun dari lelapnya. Tubuh yang terbalut selimut seketika langsung bangkit kala melihat Suaminya telah siap untuk kembali pergi. Rasanya baru sebentar mereka bersama, tapi saat ini keduanya akan kembali berpisah lagi.
“Apa tuanku akan segera pergi? tidak bisakah lebih lama lagi berada di sini. Sebentar saja ku mohon ...” Ujarnya memohon belas kasih pada sang Pujaan hati, hendaknya memberi waktu untuk bisa lebih lama bersama.
“Aku tidak memiliki waktu untuk bermalas-malasan,” Tak kunjung menyerah, Permaisuri bangkit dari ranjang, bergegas mengenakan jubah tidurnya meski kesulitan karena merasakan sakit di area belakangnya, usai malam mereka.
“Tuanku, kita tidak pernah memiliki waktu bersama. Sebentar saja ku mohon ...” digenggam tangan sang Raja, berharap bisa meluluhkan hatinya. Sayang beribu sayang, lengan itu ditarik kasar oleh si pemilik.
Tatapan dingin terlontar pada sang Ratu. “Jangan menjadi serakah. Kau menikah dengan seseorang yang memiliki tugas penting untuk negera”
Baru sekali. Ini bahkan pertama kalinya Renjun memohon diberikan waktu lebih lama bersama sang suami. Ia sering kali memaklumi kesibukan Jeno yang tiada henti. Lalu apakah salah bila sedikit menuntut untuk waktu yang tidak pernah diberi?
Serakah katanya. Serakah pada cinta dari pasangannya sendiri, bukankah hal yang wajar? Ia tidak meminta harta, benda, maupun takhta. Ia hanya menginginkan kasih sayang Jeno walau hanya sedikit saja, setidaknya biarkan Renjun merasa dicinta.
Renjun hanya bisa terdiam dengan sorot layu. Tak ada binar pada sepasang bola mata berbintang seperti dahulu. Yang ada hanya raut menahan pedih, nan sendu. Jeno pergi meninggalkan ruangan tanpa melihat jelas bahwa Istrinya terluka. Selalu seperti itu. Bangun lebih dulu, dan pergi begitu saja tanpa banyak bicara.
“Yang Mulia, para pelayan akan masuk.” Ucap Jisung setelah mengetuk pintu.
“Hari ini aku akan bersiap sendiri, cukup bantu persiapkan sarapan ku” ujar Renjun dari dalam kamarnya.
Beribu kali Renjun ingin lontarkan sebuah tanya. Apa Ratu sebelumnya juga diperlakukan dengan sama. Apa ini alasan perginya Ibu kandung Logan. Ataukah hanya dengannya saja Jeno bersikap acuh.
Beribu kali Renjun ingin lontarkan tanya, apa haknya sebagai seorang pendamping dari Pemimpin Negeri yang besar. Apa tugasnya sebagai seorang Ibu Negera. Apa yang harus dilakukannya sebagai seorang Ratu.
Sebab semua itu tak bisa ia lakukan di sini. Tidak ada kesempatan pergi keluar, menemui rakyatnya. Tidak ada tugas khusus yang diberikan padanya. Bertahun-tahun menghabiskan waktu hanya bersiap di ranjang bila saja Jeno tiba, dan membutuhkannya. Apa guna Renjun sesungguhnya?
Bahkan untuk melahirkan penerus Kerajaan saja ia tidak diizinkan. Jeno memintanya untuk tidak mengandung dengan alasan yang tidak bisa Renjun ketahui sampai detik ini. Lalu apa fungsinya berada di sini.
Selesai membersihkan diri, dan bersiap, Renjun mematut dirinya di cermin. Mengusap air mata yang tak ingin berhenti mengalir. Datang ke Negeri asing, kemudian tinggal bersama orang-orang yang tidak ia kenali, dan harus merasa dikucilkan, begitu menyakitkan. Tidak ada yang mengerti akan dukanya. Tidak ada yang bisa memahami rasa sedih, dan kesepiannya yang mencekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW QUEEN - Noren
FanfictionMendapat keindahan mu di sepanjang hidupku adalah sebuah keberuntungan yang selalu aku syukuri di setiap detiknya. Sepanjang waktu kalbu ku menjerit, pantaskah aku yang kecil ini bersanding dengan sosok agung seperti mu. Cinta mu tak hanya memberiku...