Part 11

2.5K 479 171
                                    







Genggaman yang mengerat dengan getaran dalam sentuhannya membuat insan yang menatap jemari yang rengkuh lengannya. Apa yang terlewat, apa yang tidak ia lihat, apa yang tidak ia ketahui dibalik ketakutan terbesar sosok di depannya kini.

Sebegitu besarkah amarahnya? Namun yang terlihat jelas justru kegusaran tanpa sorot kebencian. Tidak ada sumbu api yang meletup pada sepasang bola mata kelamnya. Hanya ada ketakutan lekat terlukis di sana.

“Tuanku ...”

Langkah itu berhenti tepat setelah pintu ruangan tertutup. Sang dominan melepas genggaman lebih dulu, mengusap kening sampai ke belakang kepalanya. Menunjukkan betapa kacau isi benaknya saat ini. Pikirannya benar-benar ribut.

“Kau ingin kita kembali hari ini?” tanya Renjun melihat betapa kacau keadaan suaminya itu saat ini. “Iya, aku ingin kembali. Terlalu lama di sini membuat ku sesak”

Renjun terdiam tak langsung memberi jawaban. Apa berada di tanahnya benar-benar begitu menyiksa Jeno. Lantas mengapa lelaki itu sudi menikahi seseorang dari tempat yang membuatnya sesak.

“Permaisuri, kau mendengarku?”

Renjun tersentak begitu Jeno kembali layangkan tanya padanya. Tergugah dari lamunan yang berisi prasangka hatinya pada sang Suami. “Sesuai dengan keinginan mu, kita akan kembali hari ini” Jawabnya tanpa banyak mengelak lagi.

Jeno menghela nafas mendengar apa yang dikatakan Istrinya. “Maaf karena membuat mu tidak nyaman, tolong maafkan kakak ku. Ku mohon untuk tidak membatalkan bantuan mu pada Tyrone” pinta Renjun. Tatap keduanya saling bersua, namun Jeno tak berniat membahas mengenai maaf yang diwakili oleh Roohinya itu. Ia hanya ingin ungkapkan apa yang kini menjadi alasan nafasnya tercekat setiap saat.

“Jangan pernah jauh dari pandangan ku Renjun, jangan pernah. Demi hidup dan matiku, aku membencinya. Membenci setiap langkah yang menghalangi pandangan ku dari mu.”

Renjun tertegun mendengarnya. Apa makna kalimat itu? Bagaimana ia harus bereaksi? Haruskah ia bahagia atau justru sebaliknya. Ia takut kalimat itu tak sepenuhnya berisi ungkapan akan rasa takut kehilangannya, tetapi makna lain yang bisa saja melukai perasaannya.















Pasangan itu tak banyak lontarkan kalimat dalam perjalanan mereka. Setelah ucapan yang keluar sebelum keduanya kembali ke Azure, tak banyak hal yang mereka sampaikan. Kereta kuda yang membawa pasangan Pemimpin Negeri Azure itu diliputi keheningan. Hanya satu yang pasti di dalam sana, yaitu genggaman erat yang tidak berniat untuk lepas.

Tak sekali pun Jeno melepas rengkuhan tangannya pada telapak sang Istri. Justru setiap kali terasa mulai mengendur, maka akan ia eratkan kembali genggaman itu. Bahkan dalam lelapnya yang sempat hinggap dalam perjalan mereka kembali ke Azure, genggaman itu masih tak ia lepaskan. Ia biarkan tangan yang saling berpagut itu bersandar di dadanya.

“Tuanku, aku harus kembali ke Paviliun Ratu” Ucap Renjun setelah keduanya sampai di Kerajaan dan kini harus berpisah sebab Paviliun Raja, dan Ratu berada di sisi yang berbeda. Jeno lantas menatap tangan mereka yang saling terpaut, lalu melepasnya perlahan dengan hati yang berat.

“Tidak perlu berpikir aku akan pergi, ini tempat mu, Yang Mulia. Tidak mungkin aku lari dari sini bukan?”

Tempat mu katanya ... Entah mengapa dua kata itu terdengar mengganggu. Tidak kah Renjun menganggap bahwa ini juga tempatnya? Ia adalah Ratu di Kerajaan ini.

“Bagaimana bisa seorang Ratu menganggap bumi yang ia pijak, bukan tempatnya?”

Pertanyaan itu membuat Renjun tercekat, tak sampai menjawabnya. Jeno beralih pergi begitu saja tanpa menunggu sang Ratu ungkapkan tanggapannya. Ia benci mendengar kalimat itu, membuat sesuatu di dadanya mendidih. Bagaimana bisa Renjun bicara begitu pada tempat yang dibangun indah untuknya? Bagaimana bisa, pikir Jeno.

SHADOW QUEEN - NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang