Punctum Remotum

273 26 0
                                    

"Sei, boleh aku membawa Aiko sebentar?"

Aku terpaku dalam diam, sangat mengenali suara tersebut. Bertambahlah keyakinanku saat aku menoleh kearah sang empunya suara.

Dia, Hiro.

Aku dan Sei jelas saja sangat terkejut dengan hadirnya Hiro disini. Lelaki itu sudah banyak berubah, tubuhnya semakin menjulang tinggi, kulitnya terlihat berwarna cokelat terlihat seperti sering diterpa sinar matahari, ia mengenakan kaus putih tipis yang melapisi otot-ototnya.

Setelah berbincang cukup lama Sei mengijinkanku untuk pergi bersama Hiro sedangkan ia akan kembali ke perpustakaan untuk mencari bahan untuk tesisnya.

"Sudah lama ya, Hiro. Apa kabar?" Ujarku tak mampu menyembunyikan kerinduaan di antara kami.

Hiro tersenyum lebar. "I'm sorry, Aiko. I'm really sorry for all my mistakes. I know it breaks your heart deeply."

Aku terdiam.

"I would go back in time to change it, but I can't." Ia menghela napas panjang. "Bahkan sampai sekarang aku tak pernah lupa saat dimana aku memutuskanmu. I still love you until now."

"But--"

"Aku tahu kau sudah bersama orang lain, Aiko." Hiro tampak semakin sulit mencoba bernapas. "I know, tapi hari ini biarkan aku mengatakan sekali lagi, Aiko. Aku sangat menyesal, jika aku bisa melakukan sesuatu aku ingin segera mengahapus segala luka di hatimu. I have loved you, Darling. I think for the rest of my life."

Aku tak bisa menaham air mataku untuk tumpah hingga napasku tercekat saat Hiro sudah memelukku erat.

"I love you too, Hiro. But I cant." Namun kata-kata itu tak keluar dari bibirku.

"I'm sorry." Ucapku akhirnya.

"It's okay. Untuk terakhir kalinya, bolehkah kuajak kau kesuatu tempat, Aiko?"

Aku melepaskan pelukannya. "Sure."

Hiro mulai menggengam tanganku, menariknya lembut lalu menyuruhku untuk naik ke motornya yang terparkir tak jauh dari tempat kami.

"Kau pakai helmku, Aiko."

"Tidak, kau yang pakai."

"Tidak, kau perempuan."

Aku menghela napas. Aku memang tak bisa untuk membantah Hiro. Aku segera memakai helm itu dan Hiro mulai melajukan motornya.

Kami tak banyak berbicara saat itu. Kami menyisiri bibir pantai sedikit berbelok ke arah timur lalu berbelok ke kiri mulai memasuki perkotaan. Hiro melajukan motornya dengan cepat, memang seperti itu kebiasaan Hiro selama ini.

Jantungku sempat berhenti saat melihat truk besar berjalan berlawanan arah dari jalur yang Hiro tempati. Seketika lelaki itu terkejut, aku tahu ia kaget, kemudian ia berteriak padaku saat detik-detik terakhir.

Hari itu Hiro, aku tak bisa melupakan segalanya.

"Aiko loncat sekarang!" Ia meraung sedikit berusaha mendorongku hingga aku terlempar ke jalan raya kemudian detik selanjutnya yang kudengar hanyalah suara decitan mobil dan hantaman keras.

Aku melihat Hiro, terlindas oleh beban beratus ton dengan darah yang menggenang di sekelilingnya.

Hari itu, yang kulihat hanyalah darah, tubuh Hiro sudah tak terbentuk lagi. Aku bahkan tak bisa mengenalinya, tapi... itu Hiro.

Hiro?

Lalu semuanya menghitam dan inilah titik punctum remotum antara aku dan Hiro.Titik terjauh antara aku dengannya adalah... kematian.

Hiro, aku pernah menyisipkan dirimu dalam bait-bait puisiku, yang membuatku kembali membatu, menyadari bahwa aku sedang merindu.

Punctum RemotumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang