-----
Sesuai janji, Hanbin benar-benar datang setelah merapikan peralatan di meja perpustakaan. Melangkahkan kaki pada anak tangga terakhir menuju rooftop dan berdiri tepat di depan pintu tanpa berniat untuk masuk. 'Apa aku melakukannya dengan benar?' Begitulah isi pikirannya, bimbang antara memilih pilihan sesuai kata hati ataupun mengikuti hukum tertulis yang sudah dibuat sekolah yaitu 'jangan membolos'.
Jika kalian bertanya, apa Hanbin itu labil? Jawabannya adalah ia sendiri pun tidak tau. Dulu dia sering dijuluki periang yang begitu menaati aturan dan hukum, menjadi murid membanggakan dan sering dipuji oleh para guru serta teman-teman lainnya.
Semenjak sebuah peristiwa yang susah di deskripsikan, beginilah dirinya. Tanpa teman, hidup menyendiri, terasingkan bagai sesosok alien di tengah kerumunan kota. Mungkin bisa dikatakan, ia kini menjadi sosok pengecut yang selalu berlindung dibalik keangkuhannya. Seperti itulah penggambarannya sekarang.
Seperti rasa traumatis yang bahkan membuatnya tak bisa melangkahkan kaki untuk maju. Meneguk ludah dengan susah payah menghadapi kenyataan pintu yang pernah dibukanya beberapa tahun yang lalu.
Hanbin mundur selangkah, mulai goyah akan keputusannya. Ternyata meski hanya sekilas, memori dari perkataan menyakitkan itu rupanya masih terekam jelas dalam ingatan.
Cklek
Pintu tersebut secara tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok yang sedari tadi menunggu di dalam sana dan kembali tersenyum padanya.
"Kukira kau tak akan datang, rupanya aku salah" Tangannya terulur menarik lembut lengan yang menganggur. Hanbin masih tercengang memperhatikan terbitan senyum tulus yang terpatri pada wajah tampan itu. Ia merasa seakan ingatan menyakitkan yang baru saja terputar kini lenyap seketika, pikirannya benar-benar kosong.
Tak!
Pemuda itu menoleh ke belakang saat merasakan Hanbin dengan kasar menghempaskan tangan melepaskan genggamannya. Ia tak terkejut, hanya diam menatap dalam netra mata yang masih menyorot tajam nan dingin.
Setelahnya ia tetap menarik kedua sudut bibir seolah-olah terasa bagaikan suatu kebiasaan baru begitu melihat pemuda manis dihadapannya ini.
Lagi, Hanbin dibuat tak berkutik untuk kesekian kalinya pada senyuman itu. Meluluhkan pertahanan pada sosok angkuh yang selama ini ia bangun dengan susah payah, kini runtuh sudah.
Bahkan saat menyadari bahwa pemuda itu mulai melangkah kearahnya, tubuh besar yang melekat padanya ini tak mudah untuk digerakkan. Ada sesuatu yang mengganjal pikiran untuk mengaktifkan sistem motorik pada pusat otak yang memberitahukan supaya bisa menjauh darinya.
Perlahan langkah tersebut mengikis jarak keduanya, mengikis atmosfer sejuk yang menembus kulit dan menyapu helaian anak rambut mereka hingga jarak yang masih terasa sepersekian saja.
Puk
"Menangislah jika kau ingin menangis, Hanbin"
Dekapan hangat serta alunan suara merdu pada akhirnya berhasil melumpuhkan tubuh pemuda manis yang selalu berusaha terlihat kuat didepan semua orang. Berusaha tegar dengan menunjukkan bahwa dirinya dalam keadaan baik yang sebenarnya itu hanyalah kepalsuan belaka saja.
Anak itu begitu rapuh untuk dunia kejam yang menginginkannya mati.
Perkataan yang menurutnya hanya bisa didasari rasa kasihan yang hampa. Mengatakannya tanpa berniat untuk membantu pada peristiwa lalu.
Dirasakannya pemuda itu kalau pundaknya mulai basah. Hanbin menangis dalam diam, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Air mata lolos serta tubuh yang bergetar cukup menjadi saksi bisu bagi dirinya yang mencoba melampiaskan emosi terpendam pada sandaran nyaman seseorang.
Begitupula kedua tangan pemuda itu yang perlahan terangkat dan menepuk pelan kepala serta punggung tegap yang menurutnya kian sendu dan penuh kesedihan.
'Mulai sekarang, aku yang akan berada disisinya...'
-----
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Blues
FanfictionBook.20 Genre : Brothership, Angst Cast : Zhang Hao × Sung Hanbin (HaoBin) ⚠ WARNING ⚠ B×B, Bromance "Menurutmu, apa arti diriku di dunia ini?" "Menurutku kamu itu seperti warna biru yang menghiasi kanvas putih. Penuh kesedihan, tapi dapat mewarnai...