4.1. Kisah Penjangkau Awan

265 30 2
                                    

-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----

Berlarut dalam keheningan derai mata hingga situasi kian menenang. Pemuda itu mengajak Hanbin menghampiri kursi panjang yang tersedia dan duduk disana. Perlahan memejamkan mata menikmati semilir angin menerpa wajah rupawan seakan waktu memberikan kebebasan untuk keduanya bernapas dan merasakan sedikit rileks dari beban pikiran mereka saat ini.

Menciptakan kecanggungan kecil untuk menikmati momen yang mungkin tak akan terulang kembali hingga salah satunya memecahkan kesunyian melalui pembatas tak kasat mata itu.

"Aku akan memberikan jawaban yang ingin kau dengar"

Pemuda berparas tak kalah rupawan itu mulai menceritakan bahwa pernah setiap harinya ia memilih untuk memboloskan diri setiap datang ke sekolah. Sampai pada akhirnya berpindah-pindah sekolahan agar tak begitu mempermalukan kedua orang tuanya.

Ia juga menceritakan bahwa ayahnya begitu keras mendisiplinkan dirinya hingga nekat memukuli anaknya sendiri dan nyaris sekarat jika saja tak langsung dilarikan ke rumah sakit kala itu. Ibunya pun tak membelanya dan hanya diam seolah itu merupakan hal yang lazim bagi seorang anak yang dianggap 'nakal' sepertinya.

Begitupun ia mulai bertekad untuk hidup sendiri, tidak lagi menganggap keluarganya dan pergi sejauh mungkin dari mereka berdua. Bahkan uang yang dulu dikumpulkan dari hasil kerja keras dirinya dalam bekerja selagi membolos, rupanya sangat membuahkan hasil dalam membantu proses melarikan diri-

"Kau belum memberikan jawabannya"

Sontak pemuda itu terdiam dan menoleh pada Hanbin yang masih memasang wajah seperti sehari-harinya, datar dan tak ada ketertarikan sedikitpun pada kisah yang diceritakan.

Ia kembali tersenyum, namun kali ini senyumnya nyaris membuatnya ingin tertawa. "Kau susah diajak bercerita rupanya" Kemudian meregangkan tangan yang menumpu di belakang kursi. Mendongak mengalihkan pandangan pada awan-awan di langit biru bagaikan segumpalan permen kapas berwarna putih yang menyatu.

"Mungkin kau tak akan menemukan keberadaanku di kelas, tapi aku memang murid sekolah ini"

Hanbin mengernyitkan dahi. Kembali dilanda rasa penasaran karena perkataan pemuda itu yang malah memberikan sebuah teka-teki baru dalam benaknya. "Lantas kenapa kau berseragam merah? Disekolah ini murid hanya berseragam biru atau hitam-"

"Wah, ini pertama kalinya aku mendengar kalimat panjang keluar dari mulutmu, Hanbin" Ucapnya cukup tercengang. Ia tak menyangka bila Hanbin akan mengeluarkan kalimat sepanjang itu dari bilah bibirnya.

Hanbin kembali menekuk wajah, "Jawab saja" Mengacuhkan perhatian pemuda itu yang nampak menimbang-nimbang sesuatu sebelum menghela napas dan menjawab.

"Kau pasti meragukan perkataanku sekarang. Dulu seragam ini kudapatkan kala aku masih bersekolah disini, di bangku kelas 10"

Dulu? Apa maksudnya? Dia tak bersekolah lagi?

Berbagai pertanyaan masih setia berputar mengelilingi pemikiran yang tertuju pada pemuda disampingnya ini. Namun ia enggan menyampaikan semua saat mengingat perkataan pemuda yang belum diketahui namanya itu mengatakan hal yang membuatnya sedikit kesal.

Tak mendapatkan reaksi apapun dari sang lawan bicara. Pemuda itu kembali membuka suara sembari memandang sang bumantara biru. "Kau tahu apa yang paling indah di dunia ini?"

"Tidak" Pemuda itu menjentikkan jarinya, "Aku pun juga tidak" Lalu tertawa sendiri seakan dia baru saja mengatakan hal lucu, padahal Hanbin yang mendengarkan sedaritadi tak tertawa.

"Hahaha... maaf aku hanya bercanda, yang kuingat seseorang pernah mengatakan hal ini padaku..."

-----

TBC

BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang