7. Sepintas Dejavu

181 31 2
                                    

-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----

Atmosfer kecanggungan pun mulai menyelimuti ruangan. Matahari yang perlahan menampakkan senja dibalik tirai, serta penuturan rasa melalui irama rintik hujan juga biola yang digesekkan.

Hanbin memilih mendaratkan bokong pada satu-satunya sofa panjang berwarna coklat disana. Ia melirik jam tangan, pukul 05:45 p.m. Tandanya bus yang biasa ia tumpangi pasti sudah berlalu sedari lama.

"Kau tak keberatan jika harus pulang larut?" Pertanyaan yang reflek menyadarkan Hanbin dari lamunan. Mendongak menatap pemuda yang juga berdiri menatapnya dengan sorot pandangan dalam, mencerminkan sekelibat kekhawatiran.

"Tidak, sudah terlambat juga" Jawab Hanbin santai, tak terdengar emosi. Meskipun begitu, tetap saja Hao yang mendengar seketika menghela napas, "Maaf" Hanya itu yang dapat ia ucapkan.

"Tak perlu minta maaf, aku disini atas dasar keinginanku sendiri" Selanya, "Sudah berapa lama kau bermain biola?"

Hao nampak berpikir sejenak, sejujurnya ia tak ingat dengan pasti kapan dirinya mulai menyukai sebuah biola.

"Aku tidak tahu. Tapi yang ku ingat, aku mulai penasaran mempelajarinya saat dulu sedang menyukai seseorang"

Hanbin mengenyitkan dahi, jawaban Hao entah mengapa mengingatkannya pada perkataan Gyuvin. Dimana seseorang yang sedang jatuh cinta tanpa disadari akan mencoba melakukan apa yang orang disukainya lakukan.

Hanbin ingin bertanya lebih jauh, namun lidahnya mendadak terlalu kelu terucap. Jadilah ia hanya memandangi Hao yang menatapnya bingung. "Kau ingin bertanya sesuatu lagi padaku?"

Pemuda manis berpipi sedikit berisi didepannya spontan menggelengkan kepala. Dalam hatinya ingin memastikan tetapi sepertinya sang otak sedang tidak mau diajak bekerja sama kali ini.

"Baiklah... kalau begitu aku yang akan bertanya padamu" Hao memutar kursinya tepat dihadapan Hanbin, "Kenapa kau sedaritadi terus memandangiku dibalik pintu?"

"Karena..."

"Karena?"

"Permainan biolamu... sangat bagus..." Ucapan Hanbin sangat pelan dibagian akhir. Setelahnya ia menunduk gugup, tidak bisa memikirkan alasan lain yang membuatnya reflek mengucapkan sejujurnya. Anak yang lebih terbiasa berucap kejujuran, itulah dirinya.

"Ha, apa? Aku tak kedengaran" Hao berpura-pura seolah ia benar-benar tidak mendengar, padahal telinganya saja merupakan telinga seorang musisi yang cukup terasah tajam.

"Aku bilang, permainan biolamu-"

Sama seperti yang baru saja terjadi, rupanya Hao memiliki kebiasaan berjalan tanpa bersuara. Hanbin sampai terkejut saat mendapati pemuda itu sudah berdiri dihadapannya.

"Jangan terkejut begitu, aku lebih leluasa kalau mengobrol disebelahmu" Hao mendaratkan dirinya pada sofa yang masih memiliki tempat kosong. "Nah, katakanlah"

Bukannya menuruti, Hanbin malah terdiam sejenak mencoba mengubah topik pembicaraan mereka senatural mungkin. "Kau... selalu pulang larut?"

"Bisa dibilang begitu, kenapa? Kau ingin setiap hari berlama-lama bersamaku disekolah?" Tanyanya yang lebih seperti pernyataan sembari mengerlingkan mata dan tersenyum nakal. Meskipun yang dilakukannya tak memberikan banyak arti malahan mendapatkan balasan raut wajah sedatar papan kayu dari sang pangeran es.

"Aku pergi saja"

Grep

Hao menahan lengan Hanbin seketika. Menatap legam hitam itu yang menampakkan sendu seperti biasanya. "Aku hanya bercanda. Kau ini serius sekali sih!" Ucapnya sebelum merentangkan kedua tangan lebar-lebar ke angkasa, tak lama pun menguap lelah. Terlalu letih untuk kegiatan sekolah yang dilakukannya seharian.

Hanbin mengalihkan pandang kearah jendela dengan tirai sedikit terbuka, memperhatikan hujan yang turun semakin deras membasahi kaca begitupun dengan suara petir yang mulai bergumuruh.

'Hujannya lebat sekali...'

Tak disadari bahwa seseorang mencoba menerawang arah jalan pikirannya setelah melihat ia yang terus-menerus memandangi hujan. "Mau menunggu di aula sekolah saja?" Tawar Hao berbaik hati.

Tak lama kemudian Hanbin mengangguk, memberikan sepintas sinyal bagi pemuda itu yang kembali dalam suasana hati baik.

"Oke, ayok!" Ditariknya lengan bak seputih susu itu begitu lembut. Merasakan fenomena yang sama seperti saat kedua kali mereka bertemu. Bagaikan sebuah dejavu singkat yang saling menyalurkan kehangatan satu sama lain.

Hanbin rasa...

Sepertinya ia mulai menaruh perasaan nyaman tersendiri kepada pemuda asing yang seakan bentuk cerminan diri yang diinginkannya selama ini.

Perlahan memberikan akses pintu hati yang selalu ia kurung dan tak pernah dibukanya semenjak kejadian masa lalu. Sebab didalamnya sudah banyak torehan luka yang susah disembuhkan jika tidak dengan seseorang yang masuk didalamnya dan mencoba mengobati luka tersebut.

Tak pernah perkirakan bahwa pilihannya akan jatuh kepada pemuda yang baru saja dikenalnya beberapa hari lalu.

Bisakah aku mempercayainya?

-----

TBC

Selamat natal ya bagi yang merayakan 😍🥳🎄, semoga jadi bulan yang penuh kebahagiaan dan senyuman, diberikan kesehatan dan umur panjang. Juga jadi bulan yang bisa membawakan takdir pasangan yang sudah dipilihkan oleh sang Pencipta untuk kalian, hehe GBU 🥰🤗🤍

BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang