#18

440 68 5
                                    

Hari ini Seoul dilanda hujan deras dari pagi hingga siang, Hanbin tengah berada disudut kamarnya, sebenarnya ia ingin mengelilingi rumah besar ini namun rasanya sungkan. Ia bukan tuan di rumah ini.

Kebun belakang milik ibunya basah terkena air hujan, tapias air hujan mengenai jendela kamarnya, ia menghela nafasnya pelan. Ia bosan namun tak banyak yang dapat ia lakukan selain berdiam diri dan keluar kamar ketika makan malam tiba itu pun ketika ia dipanggil oleh pelayan disini.

Namun bila ditelisik lebih jauh penampilan Hanbin terlihat jauh lebih baik. Ia menjadi terlihat berlipat lebih manis dan tampan saat bersamaan.
Itu berkat tangan lihai Yujin yang merombak Hanbin, mulai dari pakaian, rambut dan seluruh yang dimiliki Hanbin.

"Kau ini kakakku bukan pelayanku, penampilanmu harus sama sepertiku kak" itulah kata-kata yang terngiang di telinga Hanbin.

Pintu kamar terbuka, disana ada Wendy yang berdiri lalu berjalan pelan mendekati putra sulungnya tak lupa ia mengunci pintu kamar Hanbin.

Suara ketukan heels milik Wendy begitu bergema di kamar Hanbin yang sunyi. Dan tentu saja hal itu membuat si pemilik kamar terkejut bukan main, ibunya datang kemari seorang diri adalah hal luar biasa.

Hanbin langsung bangkit dari duduknya, ia kini berhadapan dengan ibunya, ada rasa getar di dadanya tapi bolehkan ia berharap kalau ia dipeluk oleh ibunya kini.
"Hanbin" suara itu menyadarkan dan menariknya kembali ke realita.

"Iya bu?"
Wendy menatap lurus jendela yang terkena percikan air hujan. Ia menghela nafasnya pelan.
"Kau merasa nyaman tinggal disini"
Pertanyaan itu membuat Hanbin tertegun. Tentu saja selama lebih dari 10 tahun berpisah Hanbin tak pernah merasakan afeksi seorang ibu.

"Aku nyaman tinggal disini"
Kini jelaga Wendy menatap lurus ke arah netra Hanbin. Mata itu mirip dengannya, wajahnya milik Daehan dan senyuman dengan dimple unik diturunkan dari neneknya.
Namun ketika melihat wajah Hanbin terlalu lama membuatnya merasakan gejolak amarah tak kasat mata.

Harusnya ia bisa menepisnya namun setiap melihat wajah polos itu membuka luka lama yang sudah lama terpendam.
Wendy mengepal kedua tangannya.

"Kau tahu kenapa aku begitu tak menginginkanmu disini"
Hanbin menggeleng pelan. Ia benar-benar tidak tahu apa maksud perkataan ibunya.
"Kehadiranmu adalah penghancur mimpiku, namun aku sadar aku telah dilaknat moon goddes karena secara tak langsung telah membuangmu maka dari itu aku kembali menarik dirimu kembali masuk ke dalam kehidupanku"

Tenggorokan Hanbin kering seketika, yang masih menjadi pertanyaan dalam benaknya mengapa ia disebut penghancur, penghalang atau apapun, apakah karena ia cacat, apakah karena ia memiliki begitu banyak kekurangan.

"Mau bagaimanapun kau tidak setara dengan Yujin, meski ada darahku dan Daehan yang mengalir dalam tubuhmu itu bukan pertanda kau bisa setara dengan Yujin"

Hanbin diam seribu bahasa, tentu saja selain karena bingung harus menanggapi seperti apa ia juga masih ingin mendengar ungkapan-ungkapan yang tentunya akan menjadi jawaban pertanyaanya selama ini.

Wendy menatap lurus, mengabaikan reaksi Hanbin yang mungkin kesakitan akibat kata-katanya.
"Aku tak ingin terkena karma begitu lama, satu pintaku padamu, tetaplah diam, jangan sampai kehadiranmu terendus oleh awak media, atau aku akan melakukan hal buruk padamu"

Setelah berkata demikian, Wendy berlalu namun sebelum ia keluar dari kamar Hanbin, ia sempat berbalik
"Kau begitu cacat Hanbina, gender keduamu belum diketahui kan"

Hanbin menunduk begitu dalam, tak sadar air matanya menitik. Ia sudah biasa mendengar hinaan dari mulut orang lain, namun rasanya mengapa begitu berbeda ketika yang berkata demikian adalah ibu kandungnya sendiri.

.
.
.
.
.

Zhang Hao memainkan biolanya dengan penuh penghayatan, nada-nada sedih dilantunkan di tengah studio musik yang luas dan suara guntur yang menggema.

Matanya memejam menikmati tiap irama yang ia ciptakan dari gesekan senar dan bownya.
Nadanya terlalu menyendu hingga siapapun yang mendengarnya pasti langsung memikirkan bahwa sang seniman tengah dilanda kesedihan yang luar biasa.

Entah diputuskan oleh cintanya, ditinggalkan oleh yang tersayang atau cintanya tak bisa bersambut. Namun Zhang Hao sepertinya berbeda, suasana hatinya hari ini seperti cuaca yang tengah terjadi, mendung, gelap dan kelam serta dingin yang begitu menggigil. Entah sebab apa namun itulah yang ia rasakan.

Ricky yang tengah bersandar pada sofa di sudut ruangan dibuat mengernyit heran. Ia biasa mendengar lantunan nada sedih namun kali ini berbeda, ini terlalu menyedihkan. Otaknya mencerna kalau ini adalah nada untuk dimainkan oleh seorang penyendiri, nada ini tercipta untuk seseorang yang menghamba kasih sayang begitu lama namun tak satupun ia dapatkan. Ia sendiri di dunia, tak ada yang sudi menolongnya.

Nada itu terhenti, Zhang Hao mengusap sudut matanya, ternyata emosinya benar-benar keluar, ia menangis saat membawa irama tadi.
"Kau menangis?" tanya Ricky
"Huum hanya sedikit, entah mengapa hari ini aku merasakan kesedihan begitu mendalam"

Ricky berpikir keras, apa kiranya yang membuat bossnya ini dilanda kesedihan.
"Ada sesuatu yang terjadi pada matemu"
"Kenapa kau bisa berpikir demikian sedangkan aku saja tidak bisa terhubung dengannya" tanya Zhang Hao.

"Tidak terhubung bukan berarti kau tidak bisa merasakannya Zhang Hao, kau bisa merasakan perasaan apa yang tengah dia rasakan meskipun kau tidak mindlink atau telepati dengan dia" Zhang Hao menjatuhkan tubuhnya di dekat Ricky.

"Apakah dia baik-baik saja" gumam Zhang Hao
"Entahlah, kenapa kau tidak menghubunginya kau sudah bertemu dengannya pasti kau meminta nomor ponselnya kan"

Zhang Hao menatap melas ke arah Ricky, bibirnya turun kebawah.
"Sayangnya dia tak punya ponsel"

Ricky membulatkan matanya terkejut, tak menyangka kalau masih ada anak muda yang tak mempunyai ponsel.
"Matemu dari jaman purba yah"

"Asal sekali kalau bicara"
"Zhang Hao kau yang benar saja, di era sekarang tak mungkin ada yang tak punya ponsel seluruh manusia diberbagai lapisan masyarakat ini punya ponsel, penjual hotteok saja ponselnya iphone keluaran terbaru" cerocos Ricky.

"Diam atau kepalamu aku pukul dengan biola ini, aku tak tahu kenapa ia tak punya ponsel bodoh mungkin benda itu tidak tak berguna untuknya"
Ricky menggeleng pelan mendengar jawaban Zhang Hao.

"Dasar manusia aneh"
"Yak siapa yang kau bilang aneh huh"
"Matemu dan kau"

.
.
.
.

Yujin tengah berkeliling ke mall ternama, niatnya ingin membelikan ponsel untuk kakaknya.

Namun ketika sedang asyik memilih, ia melihat siluat Gisella dengan seorang laki-laki.
Untuk menghormati Gisella maka ia menyapa terlebih dahulu.

"Kak Gisella"
Wanita cantik itu menoleh dan mendapati muridnya tengah melambai padanya. Gyuvin yang ada disamping Gisella pun mengikuti arah pandang Gisella.
Seketika ia tertegun, wajah itu benar-benar mirip dengan Hanbin.

Yujin mendekat ke arah Gisella dan seorang pemuda jangkung disamping Gisella.
"Halo kak" sapanya sopan.
Gisella tersenyum " halo Yujina, sedang apa disini?"

"Mencari ponsel kak" jawab Yujin
"Ooh, eh kenalkan ini temanku namanya Gyuvin" ujar Gisella.
Kedua tangan itu saling menjabat
"Gyuvin"
"Yujin, senang berkenalan dengamu kak"

Keduanya tersenyum sejenak.
"Jangan terlalu lama di luar Yujina, cuaca dingin tak baik untukmu, lagipula sebentar lagi gelap" jelas Gisella.
"Baik kak, sebentar lagi aku akan pulang, lagipula aku sudah rindu kakakku" ucap Yujin sambil tersenyum.

Gisella terkekeh pelan melihat tingkah Yujin.
"Kau sangat menyayangi kakakmu hmm"
"Tentu saja, ya sudah aku duluan ya kak, mari kak Gisella kak Gyuvin"

Yujin pun berlalu pergi, namun punggung yang menjauh itu tak luput dari pandangan Gyuvin.
"Kau lihat apa" tanya Gisella.
"Dia mirip seseorang yang ku kenal" jawab Gyuvin

"Uh siapa?"
"Mateku"

.
.
.
.

Part yang mengecewakan wkwk semoga kalian tetap suka ya.
Tetap jaga kesehatan, selamat beraktivitas semuanya🤗

Mungkin part berikutnya itu ada sedikit flashback kenapa ibu Hanbin begitu membenci anak sulungnya. Stay tune yaaaa.......

𝐁𝐘 𝐘𝐎𝐔𝐑 𝐒𝐈𝐃𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang